Senin, 09 Januari 2017

Habib Habib Besar di Indonesia

Habib Munzir Al-Musawa

 Image result for habib munzir
 
Munzir bin Fuad al-Musawa atau lebih dikenal dengan Munzir Al-Musawa atau Munzir (lahir di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, 23 Februari 1973 – meninggal di Jakarta, 15 September 2013 pada umur 40 tahun)[3] adalah dikenal sebagai pimpinan Majelis Rasulullah SAW yang dakwahnya menjangkau berbagai wilayah di Indonesia, beberapa wilayah nusantara dan dunia. Dakwahnya yang menyentuh berbagai kalangan menjadikan ia banyak dicintai oleh Ummat Islam terutama di wilayah Jabodetabek dan di Nusantara. Munzir adalah murid yang begitu disayangi oleh gurunya Umar bin Hafidz [7][8], sedangkan kalangan pemuda muslim yang mengenalnya tidak jarang menjadikan ia sebagai panutan ataupun idola dalam mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW.[9] Dakwahnya di Indonesia juga tercatat sering di hadiri tokoh-tokoh nasional seperti Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, Suryadharma Ali , Fadel Muhammad, Fauzi Bowo dan lain-lain.

Daftar isi

Silsilah [1][2]

Munzir bin Fuad bin Abdurrahman bin Ali bin Abdurrahman bin Ali bin Aqil bin Ahmad bin Abdurrahman bin Umar bin Abdurrahman bin Sulaiman bin Yaasin bin Ahmad Al-Musawa bin Muhammad Muqallaf bin Ahmad bin Abubakar As Sakran bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi Al-Ghayur bin Muhammad al-Faqih Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali' Qasim bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa Ar-Rumiy bin Muhammad Annaqib bin Ali Al-Uraidhiy bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Hussein dari Fatimah az-Zahra Putri Rasulullah SAW.

Masa kecil

Habib Munzir adalah anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Fuad bin Abdurrahman al-Musawa dan Rahmah binti Hasyim al-Musawa. Masa kecilnya dihabiskan di daerah Cipanas, Jawa barat bersama-sama saudara-saudaranya, Ramzy Fuad al-Musawa, Nabiel Al Musawa, Lulu Fuad al-Musawa serta Aliyah Fuad al-Musawa.[10]
Ayahnya lahir di Kota Palembang dan dibesarkan di Mekkah al-Mukarromah, setelah lulus pendidikan jurnalistik di New York University, Amerika Serikat, ayahnya kemudian bekerja sebagai seorang wartawan luar negeri selama sekitar 40 tahun, berawal dari harian Berita Yudha dan selanjutnya harian Berita buana.[3] Pada tahun 1996 ayahnya wafat dan dimakamkan di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat.[3]
Habib Munzir berkata "Saya adalah seorang anak yang sangat dimanja oleh ayah saya. Ayah saya saya selalu memanjakan saya lebih dari anaknya yang lainnya."[3]
Seusai menyelesaikan sekolah menengah atas (SMA), Habib Munzir mulai mendalami Ilmu Syariat Islam di Ma'had Assafaqah, yang ketika itu di pimpin Al-Habib Abdurrahman Assegaf, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, lalu mengambil kursus Bahasa Arab di LPBA Assalafy Jakarta Timur, lalu memperdalam lagi Syari'ah Islamiyah di Ma'had al-Khairat, Bekasi Timur.[3]
Keilmuan Syariahnya kemudian lebih didalami di Ma'had Dar-al Musthafa, Tarim, Hadhramaut, Yaman, selama empat tahun, disana Habib Munzir mendalami Ilmu Fiqih, Ilmu Tafsir Al-Qur'an, Ilmu Hadits, Ilmu Sejarah, Ilmu Tauhid, Ilmu Tasawuf, Mahabbaturrasul SAW, Ilmu Dakwah, dan berbagai Ilmu Syari'ah lainnya.[3]

Putus Sekolah

Dimasa baligh, ia pernah putus sekolah, Munzir muda lebih senang hadir majelis maulid Almarhum Al Arif billah Al-habib Umar bin Hud al-Attas, dan Majelis taklim kamis sore di Empang, Bogor, yang pada masa itu membahas kajian Fathul Baari oleh Al-Habib Husein bin Abdullah bin Muhsin al-Attas.[11][12] Sementara pada masa yang hampir bersamaan saudara-saudara kandungnya berhasil membanggakan orangtua mereka dalam meraih prestasi wisuda.[3][11] Hal ini mengundang kekecewaan kedua orangtua Munzir muda.[3][11]
Ayahnya pernah berkata " kau ini mau jadi apa?, jika mau agama maka belajarlah dan tuntutlah ilmu sampai keluar negeri, jika ingin mendalami ilmu dunia maka tuntutlah sampai keluar negeri, namun saranku tuntutlah ilmu agama, aku sudah mendalami keduanya, dan aku tak menemukan keberuntungan apa-apa dari kebanggaan orang yang sangat menyanjung negeri barat, walau aku sudah lulusan New York University, tetap aku tidak bisa sukses di dunia kecuali dg kelicikan, saling sikut dalam kerakusan jabatan, dan aku menghindari itu."[3][11]
Menurut Habib Munzir, itulah yang mendorong almarhum ayahnya lebih memilih hidup dalam kesederhanaan di cipanas, cianjur, Puncak, Jawa barat. Ayahnya (Al-Habib Fuad bin Abdurrahman al-Musawa) lebih senang menyendiri dari ibukota, membesarkan anak-anaknya, mengajari anak-anaknya mengaji, ratib, dan shalat berjamaah. Habib Munzir merasa sangat mengecewakan kedua orangtuanya karena belum memiliki cita-cita yang pasti, dunia tidak akhiratpun tidak.[3][11]
Munzir muda selalu merindukan pantunannya, Rasulullah SAW
Melewati masa-masa berat di awal kedewasaannya, yang didorong rasa bersalah sebab membuat ayahnya merasa malu karena pengangguran, sebagai seorang pemuda muslim, Munzir muda mengisi sisa harinya dengan bershalawat 1000 siang 1000 malam, zikir beribu kali, dan puasa nabi daud as, dan shalat malam berjam-jam.[3][11]
Munzir muda sangat mencintai Rasulullah SAW, sering menangis merindukan Rasulullah SAW, dan sering dikunjungi Rasulullah SAW dalam mimpinya.[3][11]
"Rasulullah SAW selalu menghibur saya jika saya sedih, suatu waktu saya mimpi bersimpuh dan memeluk lutut Rasulullah SAW, dan berkata wahai Rasulullah SAW aku rindu padamu, jangan tinggalkan aku lagi, butakan mataku ini asal bisa jumpa dg mu.., ataukan matikan aku sekarang, aku tersiksa di dunia ini,,, Rasulullah SAW menepuk bahu saya dan berkata : munzir, tenanglah, sebelum usiamu mencapai 40 tahun kau sudah jumpa dg ku.., maka saya terbangun.."
—  Habib Munzir, 2010 [3][11]
Menjadi Pelayan Losmen
Ketika ayahnya memasuki masa pensiun, ibunya membangun losmen kecil-kecilan berkapasitas 5 kamar di depan rumah mereka untuk disewakan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, disini Munzir muda yang menjadi pelayan untuk losmen yang disewakan secara khusus bagi orang yang mereka anggap baik-baik yang membutuhkannya.[11][13]
Sebagai penjaga losmen pada lazimnya, setiap malam Munzir muda jarang tidur, sedangkan masa berat yang sedang dilaluinya membuat Munzir muda sering duduk termenung dikursi penerimaan tamu yang dengan meja kecil dan kursi kecil mirip pos satpam. Ia melewati malam demi malam menjaga dan melayani losemen milik keluarga, sambil menanti tamu, sambil tafakkur, merenung, melamun, berdzikir, menangis dan shalat malam.[11][13]
Penyakit asma & Kursus Bahasa Arab
Dituturkan Habib Munzir bahwa siang hari ketika ia sedang puasa Nabi Daud as, ia dilanda sakit asma yang parah, dan hal itu semakin membuat kedua orangtuanya kecewa, berkata ibunda "kalau kata orang, jika banyak anak, mesti ada satu yg gagal, ibu tak mau percaya pada ucapan itu, tetapi apakah ucapan itu kebenaran?."[11][13]
Munzir muda terus menjadi pelayan di losmen keluarganya, menerima tamu, memasang seprei, menyapu kamar, membersihkan toilet, membawakan makanan dan minuman pesanan tamu, berupa teh, kopi, air putih, atau nasi goreng buatan ibunda jika dipesan tamu.[11][13]
Sampai semua kakaknya lulus sarjana, kemudian ia tergugah untuk mondok di pesantren.[11][13]. Disini Munzir muda memilih untuk berangkat ke pesantren asuhan Al-Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf di Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, akan tetapi hanya berlangsung sekitar dua bulan saja karena Munzir muda merasa tidak betah dan sering sakit-sakitan yang disebabkan penyakit asmanya selalu kambuh, kemudian Munzir muda pulang.[14]
Mendengar berita itu ayahnya semakin bertambah malu, ibunya semakin sedih, tidak lama kemudian Munzir muda memutuskan untuk kursus bahasa arab di tempat kursus bahasa arab assalafi, pimpinan Almarhum Al-Habib Bagir al-Attas, ayah dari Al-Habib Hud al-Attas yang dituturkan sering hadir di Majelis Rasulullah di Masjid Raya Al Munawar, Pancoran, Jakarta Selatan.[11][14] Habib Munzir ketika itu pulang pergi jakarta- cipanas dengan waktu tempuh dalam 2-3 jam, setiap dua kali seminggu, dengan biaya perjalanan yang didapatkan dari penghasilan penyewaan losmen.[11][14] Habib Munzir juga selalu menghadiri maulid di almarhum Al Arif Billah Al-Habib Umar bin Hud al-Attas yang saat itu di cipayung, walaupun harus menumpang dengan truk ataupun kehujanan.[11][14]
Dimasa itu ia sering datang ke maulidnya malam jumat dalam keadaan basah kuyup, hingga suatu hari pernah diusir oleh pembantu rumah, karena karpet tebal dan mahal yang sangat bersih, menanggapi hal itu Habib Munzir terpaksa berdiri saja berteduh dibawah pohon sampai hujan berhenti dan tamu-tamu berdatangan untuk bergabung dan duduk di luar teras saja karena baju basah dan takut dihardik sang penjaga.[11][14]

Ziarah maka Husein bin Abubakar al-Aydrus Luar Batang

Suatu kali Habib Munzir datang langsung dari cipanas untuk berziarah dan lupa membawa peci, dalam hatinya terbersit do'a " wahai Allah, aku datang sebagai tamu seorang wali Mu, tak beradab jika aku masuk ziarah tanpa peci, tetapi uangku pas-pasan, dan aku lapar, kalau aku beli peci maka aku tak makan dan ongkos pulangku kurang..,"[11][14]
Dengan itu ia memutuskan untuk beranjak sejenak membeli peci yang termurah saat itu di emperan penjual peci dan memilih yang berwarna hijau.[15]
Kemudian masuk berziarah, sambil membaca Surah Ya Sin untuk dihadiahkan pada almarhum, menangisi kehidupan yang penuh ketidaktentuan, mengecewakan orangtua, dan selalu lari dari sanak kerabat, karena tidak jarang menerima cemooh tentang kakak-kakaknya yang semua sukses, ayah lulusan Mekkah sekaligus New York University, sementara Munzir Muda adalah centeng losmen. Dalam renungannya ketika berziarah ia menyadari telah menghindari kerabat, lebaranpun jarang berani datang, karena akan terus diteror dan dicemooh.[11][15]
Dalam tangis itu berkata dalam hatinya,"wahai wali Allah, aku tamumu, aku membeli peci untuk beradab padamu, hamba yang shalih disisi Allah, pastilah kau dermawan dan memuliakan tamu, aku lapar dan tak cukup ongkos pulang..,"[11][14]
Ketika sedang merenung, diceritakan datanglah rombongan teman-teman belia yang pesantren di Al-Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf dengan satu mobil, para santi itu senang berjumpa dengannya, kemudian ia ditraktir makan, seketika teringat olehnya berkah beradab di makam wali Allah.[11][15]
Saat itu dituturkan Habib munzir ada yang bertanya ia sedang dengan siapa dan mau kemana, ia menjawab dengan mengatakan sendiri dan mau pulang ke kerabat ibunya di pasar sawo, Kebun Nanas, Jakarta Selatan.[11][15]
Mendengar itu mereka berkata " ayo bareng saja, kita antar sampai kebon nanas," maka Habib Munzir semakin bersyukur, karena memang ongkosnya saat itu tidak akan cukup jika pulang ke cipanas, larut malam sampai di kediaman bibi dari Ibunya, di ps sawo Kebun Nanas, Jakarta Selatan, lalu esoknya ia diberi uang cukup untuk pulang, kemudian pulang ke cipanas.[11][15] Sembari berdo'a "wahai Allah, pertemukan saya dengan guru dari orang yg paling dicintai Rasul saw"[16]

Kunjungan

Selang beberapa waktu setelah ziarah, kemudian ia masuk pesantren Al-Habib Hamid Nagib bin Syeikh Abubakar di Bekasi Timur, ia selalu menangis dan berdo'a kepada Allah swt dan rindu kepada Rasulullah SAW dan meminta untuk dipertemukan dengan guru yang paling dicintai Rasulullah SAW saat mahal qiyam maulid[11][16],
Dalam beberapa bulan kemudian datanglah Guru Mulia Al Musnid Al Allamah Al Habib Umar bin Hafidz[11][16] ke pondok itu, kunjungan pertama ia yaitu pada 1994.[11][16]
Habib Munzir berkata "selepas ia menyampaikan ceramah, ia melirik saya dengan tajam, saya hanya menangis memandangi wajah sejuk itu, lalu saat ia sudah naik ke mobil bersama almarhum Alhabib Umar maula khela, maka Guru Mulia memanggil Habib Nagib Bin Syeikh Abubakar, Guru mulia berkata bahwa ia ingin saya dikirim ke Tarim Hadramaut, Yaman untuk belajar dan menjadi murid ia"[11][16]
"Guru saya Habib Nagib bin Syeikh Abubakar mengatakan saya sangat belum siap, belum bisa bahasa arab, murid baru dan belum tahu apa apa, mungkin ia salah pilih..?.Maka guru mulia menunjuk saya. Itu.. anak muda yang pakai peci hijau itu..!, itu yang saya inginkan. Maka Guru saya Habib Nagib memanggil saya untuk jumpa ia, lalu guru mulia bertanya dari dalam mobil yang pintunya masih terbuka : siapa namamu?, dalam bahasa arab tentunya, saya tak bisa menjawab karena tak paham, maka guru saya Habib Nagib menjawab : kau ditanya siapa namamu..!, maka saya jawab nama saya, lalu guru mulia tersenyum.."[11][16]
Keesokan harinya Habib Munzir berjumpa lagi dengan Al-Habib Umar bin Hafidz di kediaman Almarhum Al-Habib Bagir al-Attas, saat itu banyak para Habaib dan Ulama mengajukan anaknya dan muridnya untuk bisa menjadi murid Al-Habib Umar bin Hafidz. Berkata Habib Munzir "maka guru mulia mengangguk angguk sambil kebingungan menghadapi serbuan mereka, lalu guru mulia melihat saya dikejauhan, lalu ia berkata pada almarhum Habib Umar Maula Khela : itu.. anak itu.. jangan lupa dicatat.., ia yang pakai peci hijau itu..!, guru mulia kembali ke Yaman, sayapun langsung ditegur guru saya Habib Nagib bin Syeikh Abubakar, seraya berkata : wahai Munzir, kau harus siap-siap dan bersungguh sungguh, kau sudah diminta berangkat, dan kau tak akan berangkat sebelum siap.."[11][17]

Berangkat ke Tarim

Dua bulan setelah pertemuan dengan Al-Habib Umar bin Hafidz, datanglah Almarhum Al-Habib Umar Mulakhela ke pesantren dan menanyakan Habib Munzir, Almarhum Al-Habib Umar Maula Khela berkata pada Al-Habib Nagib:
"Mana itu Munzir, anaknya Al-Habib Fuad al-Musawa? Dia harus berangkat minggu ini, saya ditugasi untuk memberangkatkannya."[11][17]
Saat itu Habib Nagib berkata: "saya belum siap"[11][17]
Namun Almarhum Al-Habib Umar Maula Khela dengan tegas menjawab :"Saya tidak mau tahu, namanya sudah tercantum untuk harus berangkat, ini permintaan Al-Habib Umar bin Hafidz, ia harus berangkat dalam dua minggu ini bersama rombongan pertama"[11][17]
Kemudian Habib Munzir bergegas mempersiapkan paspor dan lain-lainya. Ayahnya sempat keberatan dan berkata:"Kau sakit-sakitan, kalau kau ke Mekkah ayah tenang, karena banyak teman disana, namun ke Hadhramaut itu ayah tak ada kenalan, disana negeri tandus, bagaimana kalau kau sakit? Siapa yang menjaminmu ?"[11][17]
Menanggapi hal ini Habib Munzir mengadukannya kepada Almarhum Al-Arif Billah Al-Habib Umar bin Hud al-Attas, yang saat itu sudah sangat sepuh dan kemudia berkata: "Katakan pada ayahmu, saya yang menjaminmu, berangkatlah."[11][18]
Setelah mendengar nasihat Al Habib Umar bin Hud al-Attas, Habib Munzir menemui ayahnya, namun hanya diam, hatinya berat melepas keberangkatan Habib Munzir.[11][18]

Munzir di Tarim

Ketika berada di Tarim, Hadhramaut, Yaman, pernah terjadi perang Yaman Utara dan Yaman Selatan, hal ini memicu kekurangan pasokan makanan, matinya listrik, semua pelajar ketika itu menempuh perjalanan untuk taklim dengan jarak sekitar 3-4 km.[11][18]
Dua tahun kemudian setelah di Yaman, ketika menuntut ilmu di Dar-al Musthafa, pesantren yang di asuh oleh Al-Habib Umar bin Hafidz, dikabarkan bahwa ayahnya sakit dan menelepon dengan berkata: "Kapan kau pulang wahai anakku..?Aku rindu..?"[11][19]
Habib Munzir menjawab: "Dua tahun lagi insya Allah ayah"[11][19]
Ayahnya menjawab: "duh...masih lama sekali"[11][19]
Tiga hari berselang ayahnya dikabarkan wafat.[11][19]

Kembali Ke Jakarta & Mulai Berdakwah

! Artikel utama untuk kategori ini adalah Majelis Rasulullah.
Habib Munzir kembali ke Indonesia pada tahun 1998[11][20], dan mulai berdakwah sendiri di Cipanas.[11][20]. Namun karena kurang berkembang, ia memindahkan dakwahnya ke Jakarta pada Majelis Malam Selasa[11][20], dengan mengunjungi rumah-rumah murid sekaligus teman, murid-muridnya lebih tua dari ia, dan berasal dari kalangan awam.[11][20].
Ketika kemudian dimulai Maulid Dhiya'ullami jama'ah semakin banyak, selanjutnya majelis mulai berpindah-pindah dari musholla ke musholla, semakin terus bertambah banyak, maka mulailah majelis dari masjid ke masjid.[11][20] Sehingga Habib Munzir mulai membuka majelis di malam lainnya dan menetapkannya di Masjid Al-Munawar. Majelis semakin berkembang hingga mulai membutuhkan kop surat, undangan dan sebagainya.[11][20] Semenjak itu mulai muncul ide pemberian nama, para jamaahnya mengusulkan memberikan nama Majelis Habib Munzir, namun ia menolak lantas menetapkan nama Majelis Rasulullah.[11][20]
Dakwahnya Habib Munzir semakin meluas hingga jutaan jamaah yang menyentuh semua kalangan dan berbagai wilayah, mulai dari Jabodetabek, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Mataram, kalimantan, Sulawesi, Papua, Singapura, Malaysia, hingga sampai ke Jepang.[11][20]

Kunjungan Duta Besar Amerika Serikat

Dubes AS untuk Indonesia Scot Marciel bertemu dengan Habib Munzir bin Fuad al-Musawa di kediamannya pada January 9, 2013
Pada 9 Januari 2013, Duta Besar Amerika Serikat Scot Marciel bertemu dengan Habib Munzir bin Fuad al-Musawa di kediaman habib.[21] Dubes Marciel dan Habib Munzir, berdiskusi mengenai pentingnya toleransi beragama, spiritualitas, saling memahami, serta dialog antaragama, baik di Amerika Serikat maupun Indonesia.[21] Habib Munzir, menjelaskan kepada Dubes bahwa misinya adalah mengajarkan kepada semua umat manusia bahwa Islam adalah agama yang cinta damai dan penuh kasih sayang.[21] Ia juga mengatakan bahwa majelisnya diperuntukkan bagi orang-orang, terutama kaum muda, yang tinggal di kota-kota padat penduduk dan kadang-kadang penuh tekanan seperti Jakarta, yang ingin mencari kedamaian dalam diri mereka dan berpaling dari kekerasan, anarki, serta obat terlarang. Dubes mengatakan kepada Habib Munzir bahwa aktivitas yang melibatkan kamu muda juga merupakan salah satu prioritas Kedutaan Besar Amerika Serikat.[21] Dalam pertemuan tersebut, Dubes juga menjelaskan program-program pertukaran di Amerika Serikat untuk kaum muda Indonesia.[21]

Kematian Munzir

Insiden Kamar Mandi

Menurut penuturan anak kedua dari Habib Munzir, pada hari Minggu sebelum meninggalnya ayahnya, dirumah mereka sedang ramai dikarenakan ada pengajian Majelis An-Nisa Rasulullah SAW.[6] Beberapa saat keluarga sempat mencari-cari Habib Munzir karena tidak diketahui sedang dimana, sementara sandal dan mobilnya masih ada dirumah.[6] Ketika pintu kamar mandi diketuk dan tidak ada sahutan, akhirnya pintu di dobrak dan ditemui Habib Munzir sudah tidak sadarkan diri.[6]
Habib Munzir pun dilarikan ke Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, berselang dua jam kemudian,[6], dan setelah menjalani pemeriksaan medis kata dokter ia telah tiada,[22] Menurut penuturan kerabatnya, Habib Munzir meninggal karena serangan jantung[23] Kabar Meninggalnya Habib Munzir menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru Indonesia, salah satu sumber beritanya adalah akun twitter kakaknya Al-Habib Nabiel Al Musawa.[24], dan juga situs resmi Majelis Rasulullah.
Habib Munzir yang memiliki penyakit asma kronis sejak kecil dan sering keluar-masuk rumah sakit.[6][11][17] Pada Juni tahun 2012 Habib Munzir pernah rebah tidak berdaya diruang opname Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta dengan mesin deteksi jantung disampingnya.[25] Berdasarkan berita pada situs resmi Majelis Rasulullah, bertanggal 20 Juni 2012 bahwa semalam sebelumnya, yakni pada 19 Juni 2012 Habib Munzir keluar dengan paksa dan memaksakan dirinya untuk berangkat ke majelis, yang ternyata majelis itu teramat jauh, berkisar 1 jam dari ujung tol Cikampek, 200 km jarak tempuh diperkirakan pergi dan pulang, habib sangat kelelahan dan sangat tidak menyangka jarak majelis sejauh itu. Ditanggal 20 Juni 2012 ia selesai melaksanakan operasi Jantung esoknya hari kamis ia keluar paksa dari RSCM karena “Suatu Hal”.[25]
Sebelum meninggal, Habib Munzir juga pernah dioperasi karena ada cairan di perutnya. Penyakit tersebut sempat menganggu aktivitas Habib Munzir dalam berdakwah. Meskipun sedang dirundung rasa sakit, soal urusan dakwah, Habib Munzir, menurut kakaknya Nabil, tidak pernah memikirkan sakitnya.[26]

Ucapan Belasungkawa

Alhamdulillah.. inna lillahi wa inna ilaihi roji'un. Yaa Allah berilah pahala dalam musibah yg menimpa kami dan gantikanlah buat kami yg lebih baik darinya. Allah berhak mengambil, memberi dan segala sesuatu di sisi Allah swt memiliki waktu atau ajal. Mata menangis, hati sedih dan tidak kami ucapkan kecuali yg Allah swt ridlo.. Segala puji bagi Allah yg tidak di puji atas kejelekan selainnya, sholawat serta salam atas hambanya Nabi kita Muhammad saw yg di turunkan atasnya ( إنك ميت وإنهم ميتون ) sesungguhnya engkau akan mereka begitu juga mereka, Yaa Allah berikanlah rohmat, selamatkan, mulyakan dan berkahilah atas manusia pilihan Muhammad saw beserta keluarga, shohabat, orang-orang yg berjalan di jalannya dan yg masuk di kelompoknya serta mengambil minum darinya, bersama mereka atas kami dan saudara kami yg selalu mencari ridlomu, kedekatan kepadamu, yg berusaha selalu memberi kemanfaatan kepada para manusia, seseorang yg engkau jadikan Yaa Allah banyak kebaikan terbuka dan terlaksana karna sebabnya dalam menyatukan hati atasmu, mengajak banyak orang takut, cinta dan taat kepadamu dan kepada rosulmu Muhammad saw, as-sayyid mundzir bin fuad al-musawa Yaa Allah tinggikan derajatnya, banyakkan pahalanya, lipatkanlah kebaikannya dan gantikan untuk kita dan orang-orang yg berilmu, mengamalkan dan mengajak kepadamu serta penduduk indonesia begitu juga untuk muslimin, muslimat dan ummat dengan sebaik-baiknya pengganti yaa arhamar rohimiin wa yaa akromal akromiin. Bersambung sayyid mundzir dengan rahasia menyambut Allah sejak kecil dan dia termasuk yg pertama datang ke darul musthofa di tareem, termasuk yg sungguh-sungguh, berpakaian dengan selimut cinta dan Allah swt menyiapkannya untuk memberikan kemanfaatan yang banyak untuk hambanya..
Meninggalnya Habib Munzir bin Fuad al-Musawa mengejutkan banyak pihak. Ucapan belasungkawa datang dari berbagai kalangan, mulai dari ulama, pejabat, tokoh dan tentu saja jamaah setia ia. Presiden SBY pun menyempatkan diri menyambangi rumah duka, di Komplek Liga Mas, Jalan Cikoko Barat II, dan menyampaikan rasa belasungkawa yang dalam kepada keluarga almarhum.[28] SBY datang sekitar pukul 09.40 WIB, disambut keluarga almarhum Habib Munzir dan langsung ke ruang tamu dimana jenazah disemayamkan[28]. Sekitar 20 menit bertakziah, SBY pun mengungkapkan rasa belasungkawanya kepada keluarga beserta jamaah Majelis Rasulullah.[28]
"Ketika beberapa kali
memperingati Maulid Nabi saya bersama ia.
Dia seorang ulama muda, arif,
bijaksana sesuai dengan Indonesia religius,
juga menginginkan Islam yang islami,
membawa keteduhan tutur katanya,
mencintai keadilan, serta kaum duafa,
menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar,
dan Islam untuk semesta alam."
— Presiden SBY,2013[29][30]
Dalam sambutannya, SBY mengatakan sangat berduka dengan meninggalnya Habib Munzir.[28] SBY mengatakan bahwa selama hidup Habib Munzir mempunyai pandangan yang jernih.[28][30] Almarhum juga kerap memberikan nasihat yang sangat membekas.[28][30] SBY mengenal almarhum sebagai sosok muda yang bijaksana.[28][30] Lebih jauh, SBY pun meminta kepada jemaah untuk mendoakan agar keluarga Habib Munzir diberikan kekuatan menghadapi cobaan ini.[28][30]
Selain SBY, tampak juga sejumlah tokoh yang melayat ke rumah duka. Mereka antara lain, Menteri Agama Suryadharma Ali[5][28], Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh[5][28], Ketua DPR RI Marzuki Alie dan Anggota DPR[5][28] , Ruhut Sitompul[5][28], Rhoma Irama dan mantan Menteri Perikanan dan Kelautan Fadel Muhammad[28], Menakertrans Muhaimin Iskandar dan koleganya[31], Menteri PDT Helmy Faishal Zaini[31].
Ta'ziyah sebelum zhuhur, sebelum sholat mayit di Mesjid Al Munawwar Jakarta Selatan. Tampak Al-Habib Jindan bin Novel bin Jindan disebelah kanan Ustadz Arifin Ilham
Kebersahajaan pribadi ia meninggalkan kesan mendalam bagi orang-orang yang pernah berinteraksi dengan pribadi santun ini, salah satunya adalah Pimpinan Majelis Zikir Az-Zikra Ustadz Muhammad Arifin Ilham[32][33]. Ustadz Arifin Ilham menyebut almarhum Habib Munzir Al Musawa sebagai ulama yang mencintai dan dicintai Allah SWT sehingga dipanggil lebih cepat.[32]
Diberitakan hadir juga Ustadz Yusuf Mansur yang mengenakan baju koko warna putih dan peci hitam, langsung disambut ribuan jamaah yang ada dilokasi.[22] Ustadz Yusuf Mansur bersyukur akhirnya bisa menerobos kerumunan jamaah takziyah[34].
Ribuan jamaah berdatangan ke rumah duka almarhum Habib Munzir al-Musawwa di kompleks liga mas, Pancoran, Jakarta Selatan, pada hari Minggu, 15 September 2013.[22] Arus lalu lintas menuju rumah duka di kompleks Liga Mas sempat mengalami kemacetan.[22] Jalan Raya Pasar Minggu mulai dibanjiri manusia dan menyebabkan arus lalu lintas tersendat.[22] Antrian kendaraan mengular hingga ke jalan MT Haryono arah Pancoran. Selain itu, kemacetan juga disebabkan, karena banyaknya pelayat yang memarkir motornya di Masjid Al Munawar, yang berdekatan dengan rumah duka.[22] Diberitakan juga bahwa puluhan anggota polisi tampak berjaga dan mengatur arus lalu lintas.[22]

Habib Rizieq Shihab

 Image result for habib rizieq

Muhammad Rizieq Shihab (lahir di Jakarta, 24 Agustus 1965; umur 51 tahun)[1] adalah seorang tokoh Islam Indonesia yang dikenal sebagai pemimpin organisasi Front Pembela Islam.[2]

Daftar isi

Profil

Lahir di Jakarta pada tanggal 24 Agustus 1965. Ayahnya Habib Husein bin Muhammad Shihab dan ibunya Syarifah Sidah Alatas. Ayahnya meninggal semenjak ia masih berumur 11 bulan, dan semenjak itulah Habib Muhammad Rizieq Shihab tidak dididik di pesantren. Namun sejak berusia empat tahun, ia sudah rajin mengaji di masjid-masjid. Ibunya yang sekaligus berperan sebagai bapak dan bekerja sebagai penjahit pakaian serta perias pengantin, sangat memperhatikan pendidikan Habib Muhammad Rizieq Shihab dan satu anaknya yang lain.
Setelah lulus SD, Habib Muhammad Rizieq Shihab masuk ke SMP Pejompongan, Jakarta Pusat. Ternyata jarak sekolah dengan rumahnya di Petamburan, juga di Jakarta Pusat, terlalu jauh. Ia pun kemudian dipindahkan ke sekolah yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya, SMP Kristen Bethel Petamburan. Lulus SMA, Habib Rizieq meneruskan studinya di King Saudi University, Arab Saudi, yang diselesaikan dalam waktu empat tahun dengan predikat cum-laude. Habib Muhammad Rizieq Shihab pernah kuliah untuk mengambil S2 di Malaysia, tetapi hanya setahun.
Habib Muhammad Rizieq Shihab mendeklarasikan berdirinya Front Pembela Islam (FPI) tanggal 17 Agustus 1998. Front Pembela Islam (FPI) adalah sebuah organisasi massa Islam yang berpusat di Jakarta. Selain beberapa kelompok internal, yang disebut oleh FPI sebagai sayap juang, FPI memiliki kelompok Laskar Pembela Islam, kelompok paramiliter dari organisasi tersebut yang kontroversial karena melakukan aksi-aksi "penertiban" (sweeping) terhadap kegiatan-kegiatan yang dianggap maksiat atau bertentangan dengan syariat Islam terutama pada masa Ramadan dan seringkali berujung pada kekerasan.
FPI mulai dikenal sejak terjadi Peristiwa Ketapang, Jakarta, 22 November 1998, sekitar 200 anggota massa FPI bentrok dengan ratusan preman. Bentrokan bernuansa suku, agama, ras, antargolongan ini mengakibatkan beberapa rumah warga dan rumah ibadah terbakar serta menewaskan sejumlah orang.[3]
Pada tanggal 30 Oktober 2008 Habib Muhammad Rizieq Shihab divonis 1,5 tahun penjara karena dinyatakan bersalah terkait penyerangan terhadap massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan atau AKKBB pada peristiwa Insiden Monas 1 Juni.[4]

Pendidikan

  • SDN 1 Petamburan, Jakarta (1975)
  • SMP 40 Pejompongan, Jakarta
  • SMP Kristen Bethel Petamburan, Jakarta (1979)
  • SMAN 4, Gambir, Jakarta
  • SMA Islamic Village, Tangerang (1982)
  • Jurusan Studi Agama Islam (Fikih dan Ushul) King Saud University (S1), Riyadh, Arab Saudi (1990)
  • Studi Islam, Universitas Antar-Bangsa (S2), Malaysia
  • Universitas Antar-Bangsa (S3), Malaysia

Karier

  • Kepsek Madrasah Aliyah Jamiat Kheir, Jakarta
  • Dewan Syariat BPRS At-Taqwa, Tangerang
  • Pimpinan/pembina sejumlah majelis ta’lim Jabotabek
  • Presiden Direktur Markaz Syariah
  • Imam Besar Front Pembela Islam (FPI)
  • Mufti Besar Kesultanan Darul Islam Sulu (gelar: Datuk Paduka Maulana Syar'i Sulu)

Kontroversi

  • Pada tanggal 20 April 2003, Rizieq Shihab ditahan karena dianggap menghina kepolisian RI lewat dialog di stasiun televisi SCTV dan Trans TV. Ia sempat dibawa kabur pendukungnya, tapi akhirnya divonis 7 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 29 Juli 2003.[5]
  • Pada tanggal 13 November 2015, Rizieq kembali menjadi sorotan saat diundang oleh Bupati Purwakarta untuk ceramah di kota tersebut. Saat berceramah, Rizieq memplesetkan kata "Sampurasun" menjadi "Campur Racun". Dalam bahasa Sunda, "Sampurasun" bisa diartikan sebagai salam hormat dan doa. Atas kejadian tersebut, Rizieq Shihab dilaporkan oleh Aliansi Masyarakat Sunda Menggugat yang diinisiasi oleh Angkatan Muda Siliwangi Jawa Barat ke Polda Jawa Barat atas tuduhan penghinaan dan pelecehan terhadap budaya Sunda.
Habib Hasan Bin Ja'far Assegaf

 Image result for habib hasan

Hasan bin Ja'far Assegaf atau yang lebih dikenal dengan nama Habib Hasan (lahir di Kramat Empang, Bogor, pada tahun 1977[1]) adalah pemimpin majelis Majelis Taklim Nurul Musthofa Jakarta Selatan.[1]

Daftar isi

Biografi

Habib Hasan lahir di Kramat Empang, Bogor, pada tahun 1977[1]. Ia mulai belajar mengaji pada Syaikh Usman Baraja sewaktu kecil, dan mempelajari ilmu-ilmu Islam pada syaikh-syaikh lainnya sehingga ia menguasai ilmu Islam dan mampu menjadi pimpinan majelis taklim Nurul Musthofa Jakarta selatan.[1] Ia memulai pendidikan formal seperti biasa (SD, SMP, dan SMA) dan kemudian dilanjutkan di IAIN Sunan Ampel Malang.[1]
Selepas menuntut ilmu yang ia cari dari kota Malang dan lain-lainnya ia memutuskan untuk belajar bersama alim ulama yang berada di Jakarta dengan para Kyai-Kyai dan para Habaib (para Habib).[1]
Dia menganggap Fitnah, cacian, diarahkan pada dia dari orang yang belum mendapat Hidayah.[1][3] Bahkan ia mendoakan orang yang mencacinya.[3]

Kasus

Pada tanggal 16 Desember 2011 Habib Hasan dilaporkan menjadi pelaku pencabulan dengan sedikitnya 11 korban.[2] Ia dituduh melakukan hal tersebut yang telah dikerjakannya sejak 6 hingga 8 tahun yang lalu. Korban yang semuanya berjenis kelamin laki-laki melaporkan tindakan Habib kepada Polda Metro Jaya mengaku bahwa ia diperlakukan secara asusila selayaknya pacar.
Polisi sendiri mengaku sudah memiliki bukti-bukti berupa rekaman percakapan dan obrolan yang dilakukan oleh Habib Hasan dan korban yang dilakukan melalui media Internet ataupun telepon seluler.[4]

Tanggapan Internal

Habib Hasan pimpinan sebuah majlis taklim atau kelompok pengajian di kawasan Jakarta Selatan didera isu dugaan asusila, namun ia beserta para jamaah sendiri menganggap kasus tersebut sebagai suatu fitnah murahan.[5] Ia mengaku bahwa selama ini banyak mendapatkan teror, fitnah, cacian, makian serta hasut selalu menjadi kawannya dari ancaman orang-orang luar yang ia anggap masih belum mendapat petunjuk Allah SWT.[1] Ia juga mengaku sering mendapat ancaman untuk dibunuh jika majelis taklim yang selama ini dipimpin olehnya tidak segera dibubarkan. Selain itu juga ia mengaku pernah ditawarkan sejumlah uang dnegan nominal besar agar majelis taklimnya segera dibubarkan.[6]

Tanggapan Eksternal

Front Pembela Islam atau FPI menyatakan dan memohon kepada polisi untuk menghukum mati dengan cara dipancung jika Habib Hasan terbukti bersalah, karena menurut mereka perbuatannya dianggap telah menodai ajaran Islam dan mencemarkan nama baik seorang Habib.

Habib Alwi Bin Abdurrahman Assegaf Al-Habsy


Image result for habib alwi bin abdurrahman al habsyi

Tahun 1989 adalah tahun yang sangat berat dirasakan Habib Alwi Al-Habsy. Ayah, yang baru dikenalnya selama Sembilan tahun, meninggalkan dia dan empat orang saudara untuk selama-lamanya. Umminya, syarifah Qamar binti Abdul Qadir Al-Habsy, kemudian membesarkan Habib Alwi kecil dan saudara-saudaranya. Setahun setelah wafatnya sang abah, ia dan kakak sulung, Habib Abu Bakar, dengan seizin anggota keluarga, pergi ke Lawang, Malang, Jawa Timur, demi menuntut ilmu. Hingar binger Kebayoran Lama, Jakarta, tempat mereka dilahirkan, seolah tidak dihiraukan lagi. Padahal, anak seusianya lebih memilih tinggal bersama keluarga di kota yang nyaman dan lengkap dengan berbagai fasilitas.
Di Lawang, Alwi kecil tentunya harus berjauhan dari orang-orang yang dicintainya, dan itu sangat menguji kesabarannya. Tahun demi tahun dilalui Alwi kecil hingga dikemudian hari ia memetik buah ketabahan dan kesabran itu, yakni cucuran rahmat Allah Ta’ala yang amat disyukurinya dalam kehidupannya sekarang.
Habib Alwi bin Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsy telah mengecap buah kesabarannya menghadapi pahit getirnya menimba ilmu di waktu kecil dulu. Senada dengan kisah hidupnya, dalam diwan-nya, imam Syafi’I rahimahullah berkata, “Man lam yadzuq murrat ta’allumi sa’atan, tajarra’a dzullal jahli thula hayathi (Siapa yang tidak merasakan sekejap pahitnya menuntut ilmu, akan meneguk hinanya kebodohan sepanjang hidupnya).”
Kini ia bukan saja dikenal sebagai da’i muda yang andal, tapi juga Pembina dan pengajar 36 majlis ta’lim yang tersebar di seantero Jabodetabek. Majlis ta’lim yang diasuh di kediamannya pun telah menjadi magnet tersendiri bagi para muhibbin. Saban malam Kamis tidak kurang dari enam ratus kawula muda meluberi majlisnya. Sedangkan Ahad subuh, lebih dari empat ratus asatidz menghadiri pengajian yang diasuhnya.
Bila tiba masa peringatan Maulid, Majlis Maulid yang diselenggarakannya dihadiri puluhan ribu orang yang memenuhi jalan-jalan perkampungan kecil di kawasan Srengseng Kembangan, Jakarta Barat.
Ghirah Ilmu dan Cinta Guru
Pengembaraan dua kakak-beradik itu terhenti di Pesantren Darun Nasyi’in di bawah asuhan Habib Muhammad bin Husein Ba’bud, Lawang Malang. Ustadz Muhammad, demikian ia disapa oleh para santri, sangat menyayangi Alwi, terlebih setelah diketahui bahwa Alwi telah ditinggalkan ayah. Setiap malam, Alwi kecil menemani sang murrabi (pendidik) mengasuh pengajian hingga waktunya melepas lelah di pembaringan. Habib Muhammad, Allah yarhamuh, mendidik dan mengasuhnya seperti anaknya sendiri, padahal Habib Muhammad saat itu sudah sepuh. Sayangnya, kehangatan yang diperoleh Alwi kecil terasa hanya sebentar. Pada tahun 1993, Habib Muhammad menemui Sang Khaliq. Putra Habib Muhammad, Habib ali bin Muhammad Ba’bud, menggantikan sang ayah mengasuh pesantren yang memiliki ribuan santri itu.
Kasih sayang yang ditunjukkan keluarga Ba’bud tidak pernah luntur. Sosok Habib Ali, yang dikenal sebagai pendidik yang brilian, memberi kesan tersendiri baginya dan turut membentuk karakternya. Namun, sekalipun sudah dianggap seperti anak, Alwi kecil tetap harus menjalani tempaan belajar sebagai santri Darun Nasyi’in. kasih sayang, ketegasan, dan kemandirian hidup membentuk karakternya hingga kini.
Delapan tahun Habib Alwi menghabiskan masa kecil dan remajanya di Pesantren Lawang. Selepas itu, ia kembali ke Jakarta. Ia sempat bekerja di Jakarta dan Semarang untuk memenuhi kebutuhan hidup serta membantu membiayai adik-adiknya, meringankan beban ibunya. Tapi ghirahnya pada ilmu tetap membara. Timbul keinginan yang besar untuk melanjutkan mengaji kepada Habib Zein bin Sumaith di kota Nabi, Madinah. Namun keinginan itu belum dapat ia wujudkan, terutama karena kondisi keuangan.
image
Pada tahun 1999, sembari mengaji kepada Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan di Al-Fakhriyyah, Ciledug, Tangerang, Banten, ia mencari informasi dan jalan untuk belajar ke Darul Musthafa, Hadramaut. Setahun kemudian, berkat bantuan saudara ayahnya yang dikenal sebagai pengusaha property yang sukses dan dermawan, Habib Ismeth bin Abdullah Al-Habsyi, ia berangkat menuju Hadramaut, Yaman.
Habib Alwi adalah santri angkatan kedua asal Indonesia yang mengenyam pendidikan di Pesantren yang diasuh Guru Mulia Al-Hafizh Al-Musnid Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz.
Mulanya, lamanya waktu belajar di Darul Musthafa adalah dua tahun, ketika menginjak tahun ketiga, Habib Alwi menulis surat permohonan kepada Habib Umar agar diberi kesempatan setahun lagi untuk mengenyam pendidikan dikelas takhashush yang disebut daurah. Permintaan itu dikabulkan Habib Umar bin Hafidz. Selama tiga tahun menimba ilmu di Hadramaut, ia juga berkesempatan mengaji kepada Habib Hasan Asy-Syathiri di Rubath Tarim, yang biasanya diadakan pada masa-masa liburan. Pada kesempatan di musim haji, ia, bersama beberapa santri dan Tuan Guru Mulia, berkesempatan mengunjungi kediaman Abuya Imamul Muhadditsin Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani di Rushaifah, Makkah. Baginya, kesempatan-kesempatan itu memberi kenangan yang tiada ternilai dalam
kehidupannya hingga kini.
Getir Manisnya Berdakwah
Pada tahun 2003, Habib Alwi Al-Habsyi menginjakkan kaki kembali di tanah air. Walau ia jebolan Darul Musthafa, bukanlah hal yang mudah untuk mendapatkan akses dalam mengajar dan berdakwah. Ia hijrah ke Depok, Bogor, Jawa Barat, untuk berdakwah. Tak jarang ia mengalami pahit getirnya berdakwah.
Pernah ketika ia akan memberikan ta’lim, masjid yang akan didatanginya dikunci pagarnya. Bahkan ia pernah diusir saat sedang mengajar. Namun ujian demi ujian yang dihadapinya tidak membuat goyah dan melunturkan semangat berdakwah. Ia selalu teringat pesan sang guru, Habib Umar Bin Hafidz, tentang penggemblengan jiwa. Habib Umar mengajarkan tiga hal yang tidak boleh terlepas dari seorang alumnus Darul Musthafa; tahqiqul ‘ilm (mewujudkan ilmu dengan mengamalkannya), suluk (keluhuran pekerti dengan menjalani thariqah Ba’alawi), dan iblaghul haq (menyampaikan kebenaran kepada siapa saja).
Peran sang pendamping hidup, Syarifah Nur Fitriyah Al-Habsyi, pun sangat besar. Laksana Syarifah Khadijah binti Khuwailid, yang selalu menyokong dakwah sang suami, makhluk yang mulia, Rasulullah SAW, Syarifah Nur pun senantiasa memberikan perhatian pada tugas mulia yang diemban Habib Alwi. Sejak empat tahun terakhir ini, Habib Alwi beserta istri dan dua buah hatinya yang masih kecil dan sedang lucu-lucunya, Habib Muhammad Nuh Al-Habsyi dan Habib Ali Al-Habsyi, berhijrah kesebuah perkampungan Betawi yang asri, Jalan Mawar, srengseng Kembangan, Jakarta barat. Di kampung ini, penerimaan masyarakat terhadap dirinya dan keluarga sungguh luar biasa. Majelis yang dibinanya kian hari kian banyak dihadiri jama’ah sekitar kediamannya. Bahkan kini jama’ahnya berdatangan dari berbagai penjuru di pinggiran Jakarta Barat dan Tangerang. Rumahnya pun tiap hari disambangi jama’ah, baik yang ingin berkonsultasi, mengaji, maupun bersilaturahim.
Setiap malam Kamis, majelisnya dihadiri ratusan kaum muda. Ia mengisi pengajian dengan pembacaan Ratib Al-Haddad dan kajian kitab Riyadhush Shalihin. Sedangkan pada setiap Ahad pagi ba’da subuh, ia mengawali ta’lim dengan pembacaan Wirdul Lathif, dilanjutkan dengan mengajar kitab Risalatul Mu’awanah dan Risalatul Mudzakarah, yang diikuti lebih dari empat ratus asatidz.
Selama empat tahun Majelis Ta’lim Raudhatul Habib SAW, yang diasuhnya. Telah dikhatamkan dan diijazahkan empat buah kitab, diantaranya Kitab Adab suluk al-Murid dan Kitab Bidayatul Hidayah. Kini majelisnya tengah melebarkan sayap dengan membangun sebuah bangunan permanen seluas 150 meter persegi di Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Di lahan yang diwakafkan seorang dermawan itu, rencanya Majelis Ta’lim Raudhatul Habib SAW akan memusatkan semua kegiatan dakwahnya, termasuk pembinaan 36 majelis yang diasuh Habib Alwi di seantero Jabodetabek.
Mudawamah Mengaji
Keluarganya adalah orang-orang yang cukup disegani di kalangan Alawiyyin. Buyutnya, Habib Abu Bakar bin Muhammad Al-Habsyi, adalah salah satu tokoh pendiri Jamiat Kheir dan Rabithah Alawiyah.
Sekalipun ia memiliki datuk-datuk yang dihormati karena ilmu dan kedermawanan mereka, tidak serta merta itu membuat Habib Alwi bersikap sombong. Begitu pun dengan dirinya, yang telah mengajar di banyak majelis dan membina majelis yang cukup disegani, tidak membuat Habib Alwi besar kepala dengan ilmu dan ketenaran. Ia sangat memegang erat tuntunan Thariqah Ba’alawi, yang mengajarkan qana’ah (kesederhanaan) dan khumul (tidak mencari popularitas).
Hingga kini, bersama lima rekan dekatnya yang sama-sama dikenal sebagai da’i dan guru, secara mudawamah (berkesinambungan) mengaji kepada Habib Abdullah al-Kaf Cipulir dan Habib Umar bin Abdullah Alatas. Dengan Habib Abdullah, ia mempelajari thariqah Alawiyah; sedangkan dengan Habib Umar, ia mengaji Sembilan kitab yang berlangsung dari pagi hingga menjelang ashar, sepekan sekali.
Mengaji dan mengajar ibarat air yang dituang ke dalam gelas. Bilamana gelas penuh dengan air, perlu dituang ke gelas lainnya. Ilmu pun bukan sesuatu yang diperoleh dengan mudah dan instan. Ilmu juga harus melalui jalur yang jelas dan tasalsul (bersambung).
Itulah yang diajarkan agama, “Al-Isnad minad din laulal isnad laqala ma qala (mata rantai ilmu itu bagian dari ajaran agama. Jika tanpa mata rantai seseorang semaunya mengatakan apa yang dapat dikatakannya)”.
Habib Abdullah Al-Kaf-lah yang banyak menyokong secara moril. Majelis Raudhatul Habib SAW dinamai oleh Habib Abdullah Al-Kaf. Dipilihnya rumah yang asri yang kini didiaminya di Srengseng juga atas petunjuk gurunya tersebut.
Tentang Habib Umar Alatas, ia menyatakan kekagumannya atas semangat sang guru yang tak pernah padam sekalipun telah sangat sepuh. Ia tidak merasa penat, sekalipun dengan telaten membaca Sembilan kitab dan menjelaskannya kepada murid-muridnya sejak pukul Sembilan pagi hingga matahari akan tenggelam.
Cinta Ibu dan Kasih Guru
Dalam wawancaranya dengan alKisah di penghujung Ramadhan 1430 H, ketika mengutarakan kecintaan orang-orang yang dicintainya, buliran air mata membasahi wajah tampannya. Habib Alwi teringat akan guru-gurunya, di antaranya Habib Muhammad Ba’bud lawang, Habib Umar Bin Hafidz, dan Ibu, yang melahirkan dan membesarkannya.
Tentang sang ibu, ia teringat kepada Habib Abu Bakar Assegaf Gresik shahibul karamah (yang memiliki karamah). Alkisah, kapanpun ibunya datang, Habib Abu Bakar senantiasa bangun, berdiri, dan menghampiri sang ibu, lalu ia kecup kedua tangan ibunya, sekalipun dihadapannya ada ribuan manusia yang tengah menyimak ta’limnya. Ia baru melanjutkan pengajiannya kembali ketika ibunya telah selesai dengan keperluannya dengan dirinya. “Itulah sesungguhnya salah satu ajaran utama di kalangan ahlul bayt dzurriyyah rasulullah SAW, sikap terhadap guru dan orang tua, yang membesarkan kita”, kata Habib Alwi.
Habib alwi menyitir ucapan Imam Ja’far Ash-Shidiq, salah satu dzurriyyah Rasulullah SAW. Ada empat “perintah” bagi dzurriyyah Nabi SAW yang “tidak boleh ditentang”. Pertama, qiyamuhu min majlisihi li abihi (bangun dari majelis ketika orang tuanya datang), sebagaimana yang dilakukan Habib Abu Bakar Gresik tadi. Kedua, khidmatuhu li dhaifih (melayani tamu yang bertandang ke kediamannya). Ketiga, qiyamuhu ‘ala dabbatihi (mandiri tidak tergantung kepada orang lain). Yang keempat, khidmatuhu liman yata’allamu minhu (melayani orang yang ingin belajar kepadanya).
image
Usia boleh muda, tetapi ilmu dan akhlaqlah yang membuat seseorang dituakan di tengah masyarakat dan umat. Habib Alwi termasuk dalam kriteria tersebut. Ia dituakan dan menjadi tokoh ulama muda di tengah-tengah lingkungan tempat tinggalnya. Dalam sebuah syair dikatakan. “Al-‘Alimu kabirun walaw kana shaghiran wal jahilu shaghirun walaw kana syaikhan (Orang alim itu besar sekalipu ia masih muda, sebaliknya orang jahil itu kecil sekalipun ia berusia tua)”.
Memungkasi perbincangan dirumahnya yang teduh dan sederhana, habib yang apa adanya ini mengingatkan betapa pentingnya perubahan hidup yang lebih baik bagi setiap insan muslim pasca berlalunya bulan Ramadhan dan Syawal ini. Seseorang, katanya, hendaknya mengoreksi dirinya, apakah kualitas dirinya kini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, ataukah tidak.
Hal lain, ditambahkannya, tentang keberadaan majelis-majelis ta’lim dan dzikir. Majelis-majelis ini sangat dibutuhkan masyarakat, ketika banyak orang terperosok dalam dunia materialism, sekularisme, dan isme-isme yang jauh dari ruh Islam, yang diajarkan Nabi SAW dan para salafush shalih.

Habib Ahmad Bin Ali Bin Abdurrahman Assegaf

 Image result for habib ahmad bin ali

Al Habib Ahmad bin Ali bin Sayyidil Walid Al Faqih Al Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdulkadir bin Ali bin Umar bin Segaf Assegaf. Habib Ahmad bin Ali Assegaf adalah pribadi yang hangat, ramah, dan mudah akrab dengan siapapun. Beliau dilahirkan di jakarta pada tanggal 18 Oktober 1971 dari keturunan tokoh yang menyandang nama besar sebagai paku bumi, tokoh dakwah yang disegani dan pecinta ilmu yaitu kakenya, Sayyidil Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf.
Pada saat beliau masih didalam kandungan ibunda beliau yang bernama Syarifah Tuffahah binti Abdullah Al Haddad beliau telah diberi nama Husein oleh Al Habib Salim bin Ahmad bin Jindan. Karena ayahanda beliau Al Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf sangat mencintai Al Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, dan meminta keberkahan atas nama yang diberikan Al Habib Salim bin Ahmad bin Jindan kepada anaknya. Setelah lahir dengan selamat beberapa tahun kemudian diusia balita beberapa kali beliau mengalami sakit keras yang hampir merenggut nyawa beliau.
Pada saat Al Habib Sholeh Tanggul datang ke jakarta, ayah beliau Al Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf menemuinya dengan memohon do’a dari Al Habib Sholeh agar anak beliau senantiasa dipanjangkan umurnya dalam sehat wal afiat. Spontan Al Habib Sholeh Tanggul berkata “ahmad ahmad ahmad” memerintahkan kepada ayahanda beliau untuk mengganti nama husein menjadi ahmad. Setelah nama beliau diganti husein menjadi ahmad, beliau masih saja sakit lalu ayahanda beliau Al Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf bersilatuhrahmi kepada Al Habib Umar bin Hud AlAttas (condet) untuk meminta do’a dan meminta mengganti nama yang baik untuk anaknya ” Habib Umar langsung berkata saya tidak berani untuk mengganti namanya ,karna nama ahmad tersebut diberikan oleh Al Arifbillah Al Qutub AlHabib Sholeh bin Mukhsin Al Hamid (Tanggul)” .Begitu pula dengan Al Habib Abdullah bin Husein bin Sya’mi AlAttas (kalibata) dengan jawaban yang sama. Pada saat Al Habib Sholeh Tanggul datang ke jakarta lagi, ayah beliau Al Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf menemuinya dengan meminta air dan memohon do’a dari Al Habib Sholeh agar anak beliau senantiasa dipanjangkan umurnya dalam sehat wal afiat. Terbukti karomah yang besar dari Al Arifbillah Al Qutub Al Habib Sholeh bin Mukhsin Al Hamid tanggul, beliau tumbuh dewasa dalam keadaan sehat wal afiat.
Pada usia dini Al Habib Ahmad telah memulai jalannya dalam menuntut ilmu agama. Guru pertama beliau Al Walid Adda’ilallah Al Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf yang tidak lain adalah ayahanda beliau sendiri. Dan beliau juga menuntut ilmu kepada kakek beliau yaitu Assayidil Walid Al Imam Al ArifBillah Al Allamah Al Faqih Al Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf. Sebagai keluarga yang berlatar belakang pendidik & pendakwah, Habib Ahmad banyak mendalami ilmu berdakwah dari orang tua dan kakek beliau. Dalam perjalanan menuntut ilmu agama dari sejak dini inilah yang telah membentuk karakter beliau didalam bidang agama.
Setelah menyelesaikan pendidikan formal dan pesantren di tempat kakenya, Habib Ahmad langsung dikirim walidnya belajar ke Madinah tahun 1993, berguru kepada Al Faqih Al Habib Zein bin Smith dan Habib Salim bin Abdullah Asy-Syatiri. Di Madinah beliau belajar selama empat tahun, banyak sekali ilmu dan wawasan yang didapatnya selama bergaul dengan pakar fiqih Habib Zein bin Ibrahim bin Smith. Habib Zein selain menguasai ilmu juga seorang yang luas wawasannya. Beliau orang yang santun, rendah hati, dan berakhlak mulia. Waktu luangnya selalu dihabiskan dengan i’tikaf di Masjid Nabawi,” ujar
Habib Ahmad.
Habib Ahmad bin Ali  AssegafSetelah empat tahun menuntut ilmu di Madinah, tibalah saatnya Habib Ahmad minta izin untuk pulang. Namun ia tidak diizinkan pulang, karena Habib Zein menginginkannya agar ia juga menuntut ilmu di Hadhramaut. Tapi malamnya Habib Ahmad bermimpi bahwa ia diizinkan pulang. Maka ketika subuh menjelang, ia menyusul ke Masjid Nabawi, sebab gurunya itu selalu i’tikaf di sana menjelang subuh. Karena tekadnya sudah kuat dan juga ingin menikah, akhirnya Habib Zein mengizinkan ia pulang bahkan memberinya ijazah dan kepada gurunya yang lain Habib Salim Asy-Syatiri, ia pun memohon izin Habib Salim memahami alasannya. dan tak yang terduga justru ia memberinya ijazah keilmuan yang pernah didapatnya dari guru-guru sebelumnya. Setelah kepulangannya, Dengan memohon keberkahan dan tuntunan datuk beliau Muqaddam Tsani As Syekh Abdurrahman Assegaf, mulailah ia merintis jalan dakwah, jalan yang telah dicontohkan oleh kakek dan ayahnya.
“Alhamdulillah, sejak saya pulang, saya berdakwah dengan niat ikhlas karena Allah,” ujar Habib Ahmad dengan penuh rasa syukur . Atas permintaan remaja dan masyarakat di Gang AMD XX, Condet, Jakarta Timur, Habib Ahmad mendirikan Majelis Ta’lim Annurul Kassyaf, yang menggelar pengajian setiap malam selasa. Majelis ini mulai beraktivitas tahun 2003. Pada 8 Agustus 2008 di lapangan Cawang Kompor diadakan Tabligh Akbar pembukaan Majelis Dzikir dan Sholawat Majelis Ta’lim Annurul Kassyaaf. Habib Ahmad menggelar sholawat, dzikir dan ziarah setiap malam sabtu. Annurul Kassyaf berarti “Cahaya Yang Tembus” nama ini pemberian dari Walidnya Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf diharapkan apa-apa yang disampaikan di majelis ta’lim itu bisa menembus hati para pendengarnya dan bisa pula menjadi cahaya yang menyinari hidupnya.
Habib Ahmad menikah dengan salah satu cucu seorang ulama besar di kramat jati yaitu Syarifah Faizah binti Zein bin Al Imam Al Qutub Al Habib Mukhsin bin Muhammad Al attas (alhawi, condet), dari pernikahannya beliau memiliki 3 putera antara lain Wan Abdul Qadir, Wan Muhammad Bagir, Wan Ubaydillah dan 2 putri antara lain Syarifah Salma dan Syarifah Zaenab , namun satu anaknya yang bernama Wan Ubaydillah mengalami kecelakaan dan wafat dilokasi kecelakaan peristiwa itu terjadi dua hari menjelang lebaran tahun 2005.

 

 



1 komentar:

  1. Table games – Titanium Bar Games
    Table games – Titanium 바카라 Bar head titanium tennis racket Games. Teton Casino - Teton Casino titanium engagement rings Teton Casino has an extensive range of table games, including titanium symbol a variety thinkpad x1 titanium of roulette, blackjack and

    BalasHapus