Habib Munzir Al-Musawa

Munzir bin Fuad al-Musawa atau lebih dikenal dengan Munzir Al-Musawa atau Munzir (lahir di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, 23 Februari 1973 – meninggal di Jakarta, 15 September 2013 pada umur 40 tahun)[3] adalah dikenal sebagai pimpinan Majelis Rasulullah SAW yang dakwahnya menjangkau berbagai wilayah di Indonesia, beberapa wilayah nusantara dan dunia. Dakwahnya yang menyentuh berbagai kalangan menjadikan ia banyak dicintai oleh Ummat Islam terutama di wilayah Jabodetabek dan di Nusantara. Munzir adalah murid yang begitu disayangi oleh gurunya Umar bin Hafidz [7][8], sedangkan kalangan pemuda muslim yang mengenalnya tidak jarang menjadikan ia sebagai panutan ataupun idola dalam mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW.[9] Dakwahnya di Indonesia juga tercatat sering di hadiri tokoh-tokoh nasional seperti Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, Suryadharma Ali , Fadel Muhammad, Fauzi Bowo dan lain-lain.
Daftar isi
Silsilah [1][2]
Munzir bin Fuad bin Abdurrahman bin Ali bin Abdurrahman bin Ali bin Aqil bin Ahmad bin Abdurrahman bin Umar bin Abdurrahman bin Sulaiman bin Yaasin bin Ahmad Al-Musawa bin Muhammad Muqallaf bin Ahmad bin Abubakar As Sakran bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi Al-Ghayur bin Muhammad al-Faqih Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali' Qasim bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa Ar-Rumiy bin Muhammad Annaqib bin Ali Al-Uraidhiy bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Hussein dari Fatimah az-Zahra Putri Rasulullah SAW.Masa kecil
Habib Munzir adalah anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Fuad bin Abdurrahman al-Musawa dan Rahmah binti Hasyim al-Musawa. Masa kecilnya dihabiskan di daerah Cipanas, Jawa barat bersama-sama saudara-saudaranya, Ramzy Fuad al-Musawa, Nabiel Al Musawa, Lulu Fuad al-Musawa serta Aliyah Fuad al-Musawa.[10]Ayahnya lahir di Kota Palembang dan dibesarkan di Mekkah al-Mukarromah, setelah lulus pendidikan jurnalistik di New York University, Amerika Serikat, ayahnya kemudian bekerja sebagai seorang wartawan luar negeri selama sekitar 40 tahun, berawal dari harian Berita Yudha dan selanjutnya harian Berita buana.[3] Pada tahun 1996 ayahnya wafat dan dimakamkan di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat.[3]
Habib Munzir berkata "Saya adalah seorang anak yang sangat dimanja oleh ayah saya. Ayah saya saya selalu memanjakan saya lebih dari anaknya yang lainnya."[3]
Seusai menyelesaikan sekolah menengah atas (SMA), Habib Munzir mulai mendalami Ilmu Syariat Islam di Ma'had Assafaqah, yang ketika itu di pimpin Al-Habib Abdurrahman Assegaf, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, lalu mengambil kursus Bahasa Arab di LPBA Assalafy Jakarta Timur, lalu memperdalam lagi Syari'ah Islamiyah di Ma'had al-Khairat, Bekasi Timur.[3]
Keilmuan Syariahnya kemudian lebih didalami di Ma'had Dar-al Musthafa, Tarim, Hadhramaut, Yaman, selama empat tahun, disana Habib Munzir mendalami Ilmu Fiqih, Ilmu Tafsir Al-Qur'an, Ilmu Hadits, Ilmu Sejarah, Ilmu Tauhid, Ilmu Tasawuf, Mahabbaturrasul SAW, Ilmu Dakwah, dan berbagai Ilmu Syari'ah lainnya.[3]
Putus Sekolah
Dimasa baligh, ia pernah putus sekolah, Munzir muda lebih senang hadir majelis maulid Almarhum Al Arif billah Al-habib Umar bin Hud al-Attas, dan Majelis taklim kamis sore di Empang, Bogor, yang pada masa itu membahas kajian Fathul Baari oleh Al-Habib Husein bin Abdullah bin Muhsin al-Attas.[11][12] Sementara pada masa yang hampir bersamaan saudara-saudara kandungnya berhasil membanggakan orangtua mereka dalam meraih prestasi wisuda.[3][11] Hal ini mengundang kekecewaan kedua orangtua Munzir muda.[3][11]Ayahnya pernah berkata " kau ini mau jadi apa?, jika mau agama maka belajarlah dan tuntutlah ilmu sampai keluar negeri, jika ingin mendalami ilmu dunia maka tuntutlah sampai keluar negeri, namun saranku tuntutlah ilmu agama, aku sudah mendalami keduanya, dan aku tak menemukan keberuntungan apa-apa dari kebanggaan orang yang sangat menyanjung negeri barat, walau aku sudah lulusan New York University, tetap aku tidak bisa sukses di dunia kecuali dg kelicikan, saling sikut dalam kerakusan jabatan, dan aku menghindari itu."[3][11]
Menurut Habib Munzir, itulah yang mendorong almarhum ayahnya lebih memilih hidup dalam kesederhanaan di cipanas, cianjur, Puncak, Jawa barat. Ayahnya (Al-Habib Fuad bin Abdurrahman al-Musawa) lebih senang menyendiri dari ibukota, membesarkan anak-anaknya, mengajari anak-anaknya mengaji, ratib, dan shalat berjamaah. Habib Munzir merasa sangat mengecewakan kedua orangtuanya karena belum memiliki cita-cita yang pasti, dunia tidak akhiratpun tidak.[3][11]
- Munzir muda selalu merindukan pantunannya, Rasulullah SAW
Munzir muda sangat mencintai Rasulullah SAW, sering menangis merindukan Rasulullah SAW, dan sering dikunjungi Rasulullah SAW dalam mimpinya.[3][11]
"Rasulullah SAW selalu menghibur saya jika saya sedih, suatu waktu
saya mimpi bersimpuh dan memeluk lutut Rasulullah SAW, dan berkata wahai
Rasulullah SAW aku rindu padamu, jangan tinggalkan aku lagi, butakan
mataku ini asal bisa jumpa dg mu.., ataukan matikan aku sekarang, aku
tersiksa di dunia ini,,, Rasulullah SAW menepuk bahu saya dan berkata :
munzir, tenanglah, sebelum usiamu mencapai 40 tahun kau sudah jumpa dg
ku.., maka saya terbangun.."
- Menjadi Pelayan Losmen
Sebagai penjaga losmen pada lazimnya, setiap malam Munzir muda jarang tidur, sedangkan masa berat yang sedang dilaluinya membuat Munzir muda sering duduk termenung dikursi penerimaan tamu yang dengan meja kecil dan kursi kecil mirip pos satpam. Ia melewati malam demi malam menjaga dan melayani losemen milik keluarga, sambil menanti tamu, sambil tafakkur, merenung, melamun, berdzikir, menangis dan shalat malam.[11][13]
- Penyakit asma & Kursus Bahasa Arab
Munzir muda terus menjadi pelayan di losmen keluarganya, menerima tamu, memasang seprei, menyapu kamar, membersihkan toilet, membawakan makanan dan minuman pesanan tamu, berupa teh, kopi, air putih, atau nasi goreng buatan ibunda jika dipesan tamu.[11][13]
Sampai semua kakaknya lulus sarjana, kemudian ia tergugah untuk mondok di pesantren.[11][13]. Disini Munzir muda memilih untuk berangkat ke pesantren asuhan Al-Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf di Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, akan tetapi hanya berlangsung sekitar dua bulan saja karena Munzir muda merasa tidak betah dan sering sakit-sakitan yang disebabkan penyakit asmanya selalu kambuh, kemudian Munzir muda pulang.[14]
Mendengar berita itu ayahnya semakin bertambah malu, ibunya semakin sedih, tidak lama kemudian Munzir muda memutuskan untuk kursus bahasa arab di tempat kursus bahasa arab assalafi, pimpinan Almarhum Al-Habib Bagir al-Attas, ayah dari Al-Habib Hud al-Attas yang dituturkan sering hadir di Majelis Rasulullah di Masjid Raya Al Munawar, Pancoran, Jakarta Selatan.[11][14] Habib Munzir ketika itu pulang pergi jakarta- cipanas dengan waktu tempuh dalam 2-3 jam, setiap dua kali seminggu, dengan biaya perjalanan yang didapatkan dari penghasilan penyewaan losmen.[11][14] Habib Munzir juga selalu menghadiri maulid di almarhum Al Arif Billah Al-Habib Umar bin Hud al-Attas yang saat itu di cipayung, walaupun harus menumpang dengan truk ataupun kehujanan.[11][14]
Dimasa itu ia sering datang ke maulidnya malam jumat dalam keadaan basah kuyup, hingga suatu hari pernah diusir oleh pembantu rumah, karena karpet tebal dan mahal yang sangat bersih, menanggapi hal itu Habib Munzir terpaksa berdiri saja berteduh dibawah pohon sampai hujan berhenti dan tamu-tamu berdatangan untuk bergabung dan duduk di luar teras saja karena baju basah dan takut dihardik sang penjaga.[11][14]
Ziarah maka Husein bin Abubakar al-Aydrus Luar Batang
Suatu kali Habib Munzir datang langsung dari cipanas untuk berziarah dan lupa membawa peci, dalam hatinya terbersit do'a " wahai Allah, aku datang sebagai tamu seorang wali Mu, tak beradab jika aku masuk ziarah tanpa peci, tetapi uangku pas-pasan, dan aku lapar, kalau aku beli peci maka aku tak makan dan ongkos pulangku kurang..,"[11][14]Dengan itu ia memutuskan untuk beranjak sejenak membeli peci yang termurah saat itu di emperan penjual peci dan memilih yang berwarna hijau.[15]
Kemudian masuk berziarah, sambil membaca Surah Ya Sin untuk dihadiahkan pada almarhum, menangisi kehidupan yang penuh ketidaktentuan, mengecewakan orangtua, dan selalu lari dari sanak kerabat, karena tidak jarang menerima cemooh tentang kakak-kakaknya yang semua sukses, ayah lulusan Mekkah sekaligus New York University, sementara Munzir Muda adalah centeng losmen. Dalam renungannya ketika berziarah ia menyadari telah menghindari kerabat, lebaranpun jarang berani datang, karena akan terus diteror dan dicemooh.[11][15]
Dalam tangis itu berkata dalam hatinya,"wahai wali Allah, aku tamumu, aku membeli peci untuk beradab padamu, hamba yang shalih disisi Allah, pastilah kau dermawan dan memuliakan tamu, aku lapar dan tak cukup ongkos pulang..,"[11][14]
Ketika sedang merenung, diceritakan datanglah rombongan teman-teman belia yang pesantren di Al-Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf dengan satu mobil, para santi itu senang berjumpa dengannya, kemudian ia ditraktir makan, seketika teringat olehnya berkah beradab di makam wali Allah.[11][15]
Saat itu dituturkan Habib munzir ada yang bertanya ia sedang dengan siapa dan mau kemana, ia menjawab dengan mengatakan sendiri dan mau pulang ke kerabat ibunya di pasar sawo, Kebun Nanas, Jakarta Selatan.[11][15]
Mendengar itu mereka berkata " ayo bareng saja, kita antar sampai kebon nanas," maka Habib Munzir semakin bersyukur, karena memang ongkosnya saat itu tidak akan cukup jika pulang ke cipanas, larut malam sampai di kediaman bibi dari Ibunya, di ps sawo Kebun Nanas, Jakarta Selatan, lalu esoknya ia diberi uang cukup untuk pulang, kemudian pulang ke cipanas.[11][15] Sembari berdo'a "wahai Allah, pertemukan saya dengan guru dari orang yg paling dicintai Rasul saw"[16]
Kunjungan
Selang beberapa waktu setelah ziarah, kemudian ia masuk pesantren Al-Habib Hamid Nagib bin Syeikh Abubakar di Bekasi Timur, ia selalu menangis dan berdo'a kepada Allah swt dan rindu kepada Rasulullah SAW dan meminta untuk dipertemukan dengan guru yang paling dicintai Rasulullah SAW saat mahal qiyam maulid[11][16],Dalam beberapa bulan kemudian datanglah Guru Mulia Al Musnid Al Allamah Al Habib Umar bin Hafidz[11][16] ke pondok itu, kunjungan pertama ia yaitu pada 1994.[11][16]
Habib Munzir berkata "selepas ia menyampaikan ceramah, ia melirik saya dengan tajam, saya hanya menangis memandangi wajah sejuk itu, lalu saat ia sudah naik ke mobil bersama almarhum Alhabib Umar maula khela, maka Guru Mulia memanggil Habib Nagib Bin Syeikh Abubakar, Guru mulia berkata bahwa ia ingin saya dikirim ke Tarim Hadramaut, Yaman untuk belajar dan menjadi murid ia"[11][16]
"Guru saya Habib Nagib bin Syeikh Abubakar mengatakan saya sangat belum siap, belum bisa bahasa arab, murid baru dan belum tahu apa apa, mungkin ia salah pilih..?.Maka guru mulia menunjuk saya. Itu.. anak muda yang pakai peci hijau itu..!, itu yang saya inginkan. Maka Guru saya Habib Nagib memanggil saya untuk jumpa ia, lalu guru mulia bertanya dari dalam mobil yang pintunya masih terbuka : siapa namamu?, dalam bahasa arab tentunya, saya tak bisa menjawab karena tak paham, maka guru saya Habib Nagib menjawab : kau ditanya siapa namamu..!, maka saya jawab nama saya, lalu guru mulia tersenyum.."[11][16]
Keesokan harinya Habib Munzir berjumpa lagi dengan Al-Habib Umar bin Hafidz di kediaman Almarhum Al-Habib Bagir al-Attas, saat itu banyak para Habaib dan Ulama mengajukan anaknya dan muridnya untuk bisa menjadi murid Al-Habib Umar bin Hafidz. Berkata Habib Munzir "maka guru mulia mengangguk angguk sambil kebingungan menghadapi serbuan mereka, lalu guru mulia melihat saya dikejauhan, lalu ia berkata pada almarhum Habib Umar Maula Khela : itu.. anak itu.. jangan lupa dicatat.., ia yang pakai peci hijau itu..!, guru mulia kembali ke Yaman, sayapun langsung ditegur guru saya Habib Nagib bin Syeikh Abubakar, seraya berkata : wahai Munzir, kau harus siap-siap dan bersungguh sungguh, kau sudah diminta berangkat, dan kau tak akan berangkat sebelum siap.."[11][17]
Berangkat ke Tarim
Dua bulan setelah pertemuan dengan Al-Habib Umar bin Hafidz, datanglah Almarhum Al-Habib Umar Mulakhela ke pesantren dan menanyakan Habib Munzir, Almarhum Al-Habib Umar Maula Khela berkata pada Al-Habib Nagib:"Mana itu Munzir, anaknya Al-Habib Fuad al-Musawa? Dia harus berangkat minggu ini, saya ditugasi untuk memberangkatkannya."[11][17]
Saat itu Habib Nagib berkata: "saya belum siap"[11][17]
Namun Almarhum Al-Habib Umar Maula Khela dengan tegas menjawab :"Saya tidak mau tahu, namanya sudah tercantum untuk harus berangkat, ini permintaan Al-Habib Umar bin Hafidz, ia harus berangkat dalam dua minggu ini bersama rombongan pertama"[11][17]
Kemudian Habib Munzir bergegas mempersiapkan paspor dan lain-lainya. Ayahnya sempat keberatan dan berkata:"Kau sakit-sakitan, kalau kau ke Mekkah ayah tenang, karena banyak teman disana, namun ke Hadhramaut itu ayah tak ada kenalan, disana negeri tandus, bagaimana kalau kau sakit? Siapa yang menjaminmu ?"[11][17]
Menanggapi hal ini Habib Munzir mengadukannya kepada Almarhum Al-Arif Billah Al-Habib Umar bin Hud al-Attas, yang saat itu sudah sangat sepuh dan kemudia berkata: "Katakan pada ayahmu, saya yang menjaminmu, berangkatlah."[11][18]
Setelah mendengar nasihat Al Habib Umar bin Hud al-Attas, Habib Munzir menemui ayahnya, namun hanya diam, hatinya berat melepas keberangkatan Habib Munzir.[11][18]
Munzir di Tarim
Ketika berada di Tarim, Hadhramaut, Yaman, pernah terjadi perang Yaman Utara dan Yaman Selatan, hal ini memicu kekurangan pasokan makanan, matinya listrik, semua pelajar ketika itu menempuh perjalanan untuk taklim dengan jarak sekitar 3-4 km.[11][18]Dua tahun kemudian setelah di Yaman, ketika menuntut ilmu di Dar-al Musthafa, pesantren yang di asuh oleh Al-Habib Umar bin Hafidz, dikabarkan bahwa ayahnya sakit dan menelepon dengan berkata: "Kapan kau pulang wahai anakku..?Aku rindu..?"[11][19]
Habib Munzir menjawab: "Dua tahun lagi insya Allah ayah"[11][19]
Ayahnya menjawab: "duh...masih lama sekali"[11][19]
Tiga hari berselang ayahnya dikabarkan wafat.[11][19]
Kembali Ke Jakarta & Mulai Berdakwah
Ketika kemudian dimulai Maulid Dhiya'ullami jama'ah semakin banyak, selanjutnya majelis mulai berpindah-pindah dari musholla ke musholla, semakin terus bertambah banyak, maka mulailah majelis dari masjid ke masjid.[11][20] Sehingga Habib Munzir mulai membuka majelis di malam lainnya dan menetapkannya di Masjid Al-Munawar. Majelis semakin berkembang hingga mulai membutuhkan kop surat, undangan dan sebagainya.[11][20] Semenjak itu mulai muncul ide pemberian nama, para jamaahnya mengusulkan memberikan nama Majelis Habib Munzir, namun ia menolak lantas menetapkan nama Majelis Rasulullah.[11][20]
Dakwahnya Habib Munzir semakin meluas hingga jutaan jamaah yang menyentuh semua kalangan dan berbagai wilayah, mulai dari Jabodetabek, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Mataram, kalimantan, Sulawesi, Papua, Singapura, Malaysia, hingga sampai ke Jepang.[11][20]
Kunjungan Duta Besar Amerika Serikat
Dubes AS untuk Indonesia Scot Marciel bertemu dengan Habib Munzir bin Fuad al-Musawa di kediamannya pada January 9, 2013
Kematian Munzir
Insiden Kamar Mandi
Menurut penuturan anak kedua dari Habib Munzir, pada hari Minggu sebelum meninggalnya ayahnya, dirumah mereka sedang ramai dikarenakan ada pengajian Majelis An-Nisa Rasulullah SAW.[6] Beberapa saat keluarga sempat mencari-cari Habib Munzir karena tidak diketahui sedang dimana, sementara sandal dan mobilnya masih ada dirumah.[6] Ketika pintu kamar mandi diketuk dan tidak ada sahutan, akhirnya pintu di dobrak dan ditemui Habib Munzir sudah tidak sadarkan diri.[6]Habib Munzir pun dilarikan ke Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, berselang dua jam kemudian,[6], dan setelah menjalani pemeriksaan medis kata dokter ia telah tiada,[22] Menurut penuturan kerabatnya, Habib Munzir meninggal karena serangan jantung[23] Kabar Meninggalnya Habib Munzir menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru Indonesia, salah satu sumber beritanya adalah akun twitter kakaknya Al-Habib Nabiel Al Musawa.[24], dan juga situs resmi Majelis Rasulullah.
Habib Munzir yang memiliki penyakit asma kronis sejak kecil dan sering keluar-masuk rumah sakit.[6][11][17] Pada Juni tahun 2012 Habib Munzir pernah rebah tidak berdaya diruang opname Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta dengan mesin deteksi jantung disampingnya.[25] Berdasarkan berita pada situs resmi Majelis Rasulullah, bertanggal 20 Juni 2012 bahwa semalam sebelumnya, yakni pada 19 Juni 2012 Habib Munzir keluar dengan paksa dan memaksakan dirinya untuk berangkat ke majelis, yang ternyata majelis itu teramat jauh, berkisar 1 jam dari ujung tol Cikampek, 200 km jarak tempuh diperkirakan pergi dan pulang, habib sangat kelelahan dan sangat tidak menyangka jarak majelis sejauh itu. Ditanggal 20 Juni 2012 ia selesai melaksanakan operasi Jantung esoknya hari kamis ia keluar paksa dari RSCM karena “Suatu Hal”.[25]
Sebelum meninggal, Habib Munzir juga pernah dioperasi karena ada cairan di perutnya. Penyakit tersebut sempat menganggu aktivitas Habib Munzir dalam berdakwah. Meskipun sedang dirundung rasa sakit, soal urusan dakwah, Habib Munzir, menurut kakaknya Nabil, tidak pernah memikirkan sakitnya.[26]
Ucapan Belasungkawa
Alhamdulillah.. inna lillahi wa inna ilaihi roji'un. Yaa Allah
berilah pahala dalam musibah yg menimpa kami dan gantikanlah buat kami
yg lebih baik darinya. Allah berhak mengambil, memberi dan segala
sesuatu di sisi Allah swt memiliki waktu atau ajal. Mata menangis, hati
sedih dan tidak kami ucapkan kecuali yg Allah swt ridlo.. Segala puji
bagi Allah yg tidak di puji atas kejelekan selainnya, sholawat serta
salam atas hambanya Nabi kita Muhammad saw yg di turunkan atasnya ( إنك
ميت وإنهم ميتون ) sesungguhnya engkau akan mereka begitu juga mereka,
Yaa Allah berikanlah rohmat, selamatkan, mulyakan dan berkahilah atas
manusia pilihan Muhammad saw beserta keluarga, shohabat, orang-orang yg
berjalan di jalannya dan yg masuk di kelompoknya serta mengambil minum
darinya, bersama mereka atas kami dan saudara kami yg selalu mencari
ridlomu, kedekatan kepadamu, yg berusaha selalu memberi kemanfaatan
kepada para manusia, seseorang yg engkau jadikan Yaa Allah banyak
kebaikan terbuka dan terlaksana karna sebabnya dalam menyatukan hati
atasmu, mengajak banyak orang takut, cinta dan taat kepadamu dan kepada
rosulmu Muhammad saw, as-sayyid mundzir bin fuad al-musawa Yaa Allah
tinggikan derajatnya, banyakkan pahalanya, lipatkanlah kebaikannya dan
gantikan untuk kita dan orang-orang yg berilmu, mengamalkan dan mengajak
kepadamu serta penduduk indonesia begitu juga untuk muslimin, muslimat
dan ummat dengan sebaik-baiknya pengganti yaa arhamar rohimiin wa yaa
akromal akromiin. Bersambung sayyid mundzir dengan rahasia menyambut
Allah sejak kecil dan dia termasuk yg pertama datang ke darul musthofa
di tareem, termasuk yg sungguh-sungguh, berpakaian dengan selimut cinta
dan Allah swt menyiapkannya untuk memberikan kemanfaatan yang banyak
untuk hambanya..
"Ketika beberapa kali
memperingati Maulid Nabi saya bersama ia.
Dia seorang ulama muda, arif,
bijaksana sesuai dengan Indonesia religius,
juga menginginkan Islam yang islami,
membawa keteduhan tutur katanya,
mencintai keadilan, serta kaum duafa,
menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar,
dan Islam untuk semesta alam."
memperingati Maulid Nabi saya bersama ia.
Dia seorang ulama muda, arif,
bijaksana sesuai dengan Indonesia religius,
juga menginginkan Islam yang islami,
membawa keteduhan tutur katanya,
mencintai keadilan, serta kaum duafa,
menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar,
dan Islam untuk semesta alam."
Selain SBY, tampak juga sejumlah tokoh yang melayat ke rumah duka. Mereka antara lain, Menteri Agama Suryadharma Ali[5][28], Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh[5][28], Ketua DPR RI Marzuki Alie dan Anggota DPR[5][28] , Ruhut Sitompul[5][28], Rhoma Irama dan mantan Menteri Perikanan dan Kelautan Fadel Muhammad[28], Menakertrans Muhaimin Iskandar dan koleganya[31], Menteri PDT Helmy Faishal Zaini[31].
Ta'ziyah sebelum zhuhur, sebelum sholat mayit di Mesjid Al Munawwar
Jakarta Selatan. Tampak Al-Habib Jindan bin Novel bin Jindan disebelah
kanan Ustadz Arifin Ilham
Diberitakan hadir juga Ustadz Yusuf Mansur yang mengenakan baju koko warna putih dan peci hitam, langsung disambut ribuan jamaah yang ada dilokasi.[22] Ustadz Yusuf Mansur bersyukur akhirnya bisa menerobos kerumunan jamaah takziyah[34].
Ribuan jamaah berdatangan ke rumah duka almarhum Habib Munzir al-Musawwa di kompleks liga mas, Pancoran, Jakarta Selatan, pada hari Minggu, 15 September 2013.[22] Arus lalu lintas menuju rumah duka di kompleks Liga Mas sempat mengalami kemacetan.[22] Jalan Raya Pasar Minggu mulai dibanjiri manusia dan menyebabkan arus lalu lintas tersendat.[22] Antrian kendaraan mengular hingga ke jalan MT Haryono arah Pancoran. Selain itu, kemacetan juga disebabkan, karena banyaknya pelayat yang memarkir motornya di Masjid Al Munawar, yang berdekatan dengan rumah duka.[22] Diberitakan juga bahwa puluhan anggota polisi tampak berjaga dan mengatur arus lalu lintas.[22]
Habib Rizieq Shihab

Muhammad Rizieq Shihab (lahir di Jakarta, 24 Agustus 1965; umur 51 tahun)[1] adalah seorang tokoh Islam Indonesia yang dikenal sebagai pemimpin organisasi Front Pembela Islam.[2]
Daftar isi
Profil
Lahir di Jakarta pada tanggal 24 Agustus 1965. Ayahnya Habib Husein bin Muhammad Shihab dan ibunya Syarifah Sidah Alatas. Ayahnya meninggal semenjak ia masih berumur 11 bulan, dan semenjak itulah Habib Muhammad Rizieq Shihab tidak dididik di pesantren. Namun sejak berusia empat tahun, ia sudah rajin mengaji di masjid-masjid. Ibunya yang sekaligus berperan sebagai bapak dan bekerja sebagai penjahit pakaian serta perias pengantin, sangat memperhatikan pendidikan Habib Muhammad Rizieq Shihab dan satu anaknya yang lain.Setelah lulus SD, Habib Muhammad Rizieq Shihab masuk ke SMP Pejompongan, Jakarta Pusat. Ternyata jarak sekolah dengan rumahnya di Petamburan, juga di Jakarta Pusat, terlalu jauh. Ia pun kemudian dipindahkan ke sekolah yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya, SMP Kristen Bethel Petamburan. Lulus SMA, Habib Rizieq meneruskan studinya di King Saudi University, Arab Saudi, yang diselesaikan dalam waktu empat tahun dengan predikat cum-laude. Habib Muhammad Rizieq Shihab pernah kuliah untuk mengambil S2 di Malaysia, tetapi hanya setahun.
Habib Muhammad Rizieq Shihab mendeklarasikan berdirinya Front Pembela Islam (FPI) tanggal 17 Agustus 1998. Front Pembela Islam (FPI) adalah sebuah organisasi massa Islam yang berpusat di Jakarta. Selain beberapa kelompok internal, yang disebut oleh FPI sebagai sayap juang, FPI memiliki kelompok Laskar Pembela Islam, kelompok paramiliter dari organisasi tersebut yang kontroversial karena melakukan aksi-aksi "penertiban" (sweeping) terhadap kegiatan-kegiatan yang dianggap maksiat atau bertentangan dengan syariat Islam terutama pada masa Ramadan dan seringkali berujung pada kekerasan.
FPI mulai dikenal sejak terjadi Peristiwa Ketapang, Jakarta, 22 November 1998, sekitar 200 anggota massa FPI bentrok dengan ratusan preman. Bentrokan bernuansa suku, agama, ras, antargolongan ini mengakibatkan beberapa rumah warga dan rumah ibadah terbakar serta menewaskan sejumlah orang.[3]
Pada tanggal 30 Oktober 2008 Habib Muhammad Rizieq Shihab divonis 1,5 tahun penjara karena dinyatakan bersalah terkait penyerangan terhadap massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan atau AKKBB pada peristiwa Insiden Monas 1 Juni.[4]
Pendidikan
- SDN 1 Petamburan, Jakarta (1975)
- SMP 40 Pejompongan, Jakarta
- SMP Kristen Bethel Petamburan, Jakarta (1979)
- SMAN 4, Gambir, Jakarta
- SMA Islamic Village, Tangerang (1982)
- Jurusan Studi Agama Islam (Fikih dan Ushul) King Saud University (S1), Riyadh, Arab Saudi (1990)
- Studi Islam, Universitas Antar-Bangsa (S2), Malaysia
- Universitas Antar-Bangsa (S3), Malaysia
Karier
- Kepsek Madrasah Aliyah Jamiat Kheir, Jakarta
- Dewan Syariat BPRS At-Taqwa, Tangerang
- Pimpinan/pembina sejumlah majelis ta’lim Jabotabek
- Presiden Direktur Markaz Syariah
- Imam Besar Front Pembela Islam (FPI)
- Mufti Besar Kesultanan Darul Islam Sulu (gelar: Datuk Paduka Maulana Syar'i Sulu)
Kontroversi
- Pada tanggal 20 April 2003, Rizieq Shihab ditahan karena dianggap menghina kepolisian RI lewat dialog di stasiun televisi SCTV dan Trans TV. Ia sempat dibawa kabur pendukungnya, tapi akhirnya divonis 7 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 29 Juli 2003.[5]
- Pada tanggal 13 November 2015, Rizieq kembali menjadi sorotan saat diundang oleh Bupati Purwakarta untuk ceramah di kota tersebut. Saat berceramah, Rizieq memplesetkan kata "Sampurasun" menjadi "Campur Racun". Dalam bahasa Sunda, "Sampurasun" bisa diartikan sebagai salam hormat dan doa. Atas kejadian tersebut, Rizieq Shihab dilaporkan oleh Aliansi Masyarakat Sunda Menggugat yang diinisiasi oleh Angkatan Muda Siliwangi Jawa Barat ke Polda Jawa Barat atas tuduhan penghinaan dan pelecehan terhadap budaya Sunda.

Hasan bin Ja'far Assegaf atau yang lebih dikenal dengan nama Habib Hasan (lahir di Kramat Empang, Bogor, pada tahun 1977[1]) adalah pemimpin majelis Majelis Taklim Nurul Musthofa Jakarta Selatan.[1]
Daftar isi
Biografi
Habib Hasan lahir di Kramat Empang, Bogor, pada tahun 1977[1]. Ia mulai belajar mengaji pada Syaikh Usman Baraja sewaktu kecil, dan mempelajari ilmu-ilmu Islam pada syaikh-syaikh lainnya sehingga ia menguasai ilmu Islam dan mampu menjadi pimpinan majelis taklim Nurul Musthofa Jakarta selatan.[1] Ia memulai pendidikan formal seperti biasa (SD, SMP, dan SMA) dan kemudian dilanjutkan di IAIN Sunan Ampel Malang.[1]Selepas menuntut ilmu yang ia cari dari kota Malang dan lain-lainnya ia memutuskan untuk belajar bersama alim ulama yang berada di Jakarta dengan para Kyai-Kyai dan para Habaib (para Habib).[1]
Dia menganggap Fitnah, cacian, diarahkan pada dia dari orang yang belum mendapat Hidayah.[1][3] Bahkan ia mendoakan orang yang mencacinya.[3]
Kasus
Pada tanggal 16 Desember 2011 Habib Hasan dilaporkan menjadi pelaku pencabulan dengan sedikitnya 11 korban.[2] Ia dituduh melakukan hal tersebut yang telah dikerjakannya sejak 6 hingga 8 tahun yang lalu. Korban yang semuanya berjenis kelamin laki-laki melaporkan tindakan Habib kepada Polda Metro Jaya mengaku bahwa ia diperlakukan secara asusila selayaknya pacar.Polisi sendiri mengaku sudah memiliki bukti-bukti berupa rekaman percakapan dan obrolan yang dilakukan oleh Habib Hasan dan korban yang dilakukan melalui media Internet ataupun telepon seluler.[4]
Tanggapan Internal
Habib Hasan pimpinan sebuah majlis taklim atau kelompok pengajian di kawasan Jakarta Selatan didera isu dugaan asusila, namun ia beserta para jamaah sendiri menganggap kasus tersebut sebagai suatu fitnah murahan.[5] Ia mengaku bahwa selama ini banyak mendapatkan teror, fitnah, cacian, makian serta hasut selalu menjadi kawannya dari ancaman orang-orang luar yang ia anggap masih belum mendapat petunjuk Allah SWT.[1] Ia juga mengaku sering mendapat ancaman untuk dibunuh jika majelis taklim yang selama ini dipimpin olehnya tidak segera dibubarkan. Selain itu juga ia mengaku pernah ditawarkan sejumlah uang dnegan nominal besar agar majelis taklimnya segera dibubarkan.[6]Tanggapan Eksternal
Front Pembela Islam atau FPI menyatakan dan memohon kepada polisi untuk menghukum mati dengan cara dipancung jika Habib Hasan terbukti bersalah, karena menurut mereka perbuatannya dianggap telah menodai ajaran Islam dan mencemarkan nama baik seorang Habib.Habib Alwi Bin Abdurrahman Assegaf Al-Habsy

Tahun 1989 adalah tahun yang sangat berat
dirasakan Habib Alwi Al-Habsy. Ayah, yang baru dikenalnya selama
Sembilan tahun, meninggalkan dia dan empat orang saudara untuk
selama-lamanya. Umminya, syarifah Qamar binti Abdul Qadir Al-Habsy,
kemudian membesarkan Habib Alwi kecil dan saudara-saudaranya. Setahun
setelah wafatnya sang abah, ia dan kakak sulung, Habib Abu Bakar, dengan
seizin anggota keluarga, pergi ke Lawang, Malang, Jawa Timur, demi
menuntut ilmu. Hingar binger Kebayoran Lama, Jakarta, tempat mereka
dilahirkan, seolah tidak dihiraukan lagi. Padahal, anak seusianya lebih
memilih tinggal bersama keluarga di kota yang nyaman dan lengkap dengan
berbagai fasilitas.
Di Lawang, Alwi kecil tentunya harus
berjauhan dari orang-orang yang dicintainya, dan itu sangat menguji
kesabarannya. Tahun demi tahun dilalui Alwi kecil hingga dikemudian hari
ia memetik buah ketabahan dan kesabran itu, yakni cucuran rahmat Allah
Ta’ala yang amat disyukurinya dalam kehidupannya sekarang.
Habib Alwi bin Abdurrahman bin Abdullah
Al-Habsy telah mengecap buah kesabarannya menghadapi pahit getirnya
menimba ilmu di waktu kecil dulu. Senada dengan kisah hidupnya, dalam
diwan-nya, imam Syafi’I rahimahullah berkata, “Man lam yadzuq murrat
ta’allumi sa’atan, tajarra’a dzullal jahli thula hayathi (Siapa yang
tidak merasakan sekejap pahitnya menuntut ilmu, akan meneguk hinanya
kebodohan sepanjang hidupnya).”
Kini ia bukan saja dikenal sebagai da’i
muda yang andal, tapi juga Pembina dan pengajar 36 majlis ta’lim yang
tersebar di seantero Jabodetabek. Majlis ta’lim yang diasuh di
kediamannya pun telah menjadi magnet tersendiri bagi para muhibbin.
Saban malam Kamis tidak kurang dari enam ratus kawula muda meluberi
majlisnya. Sedangkan Ahad subuh, lebih dari empat ratus asatidz
menghadiri pengajian yang diasuhnya.
Bila tiba masa peringatan Maulid, Majlis
Maulid yang diselenggarakannya dihadiri puluhan ribu orang yang memenuhi
jalan-jalan perkampungan kecil di kawasan Srengseng Kembangan, Jakarta
Barat.
Ghirah Ilmu dan Cinta Guru
Pengembaraan dua kakak-beradik itu
terhenti di Pesantren Darun Nasyi’in di bawah asuhan Habib Muhammad bin
Husein Ba’bud, Lawang Malang. Ustadz Muhammad, demikian ia disapa oleh
para santri, sangat menyayangi Alwi, terlebih setelah diketahui bahwa
Alwi telah ditinggalkan ayah. Setiap malam, Alwi kecil menemani sang
murrabi (pendidik) mengasuh pengajian hingga waktunya melepas lelah di
pembaringan. Habib Muhammad, Allah yarhamuh, mendidik dan mengasuhnya
seperti anaknya sendiri, padahal Habib Muhammad saat itu sudah sepuh.
Sayangnya, kehangatan yang diperoleh Alwi kecil terasa hanya sebentar.
Pada tahun 1993, Habib Muhammad menemui Sang Khaliq. Putra Habib
Muhammad, Habib ali bin Muhammad Ba’bud, menggantikan sang ayah mengasuh
pesantren yang memiliki ribuan santri itu.
Kasih sayang yang ditunjukkan keluarga
Ba’bud tidak pernah luntur. Sosok Habib Ali, yang dikenal sebagai
pendidik yang brilian, memberi kesan tersendiri baginya dan turut
membentuk karakternya. Namun, sekalipun sudah dianggap seperti anak,
Alwi kecil tetap harus menjalani tempaan belajar sebagai santri Darun
Nasyi’in. kasih sayang, ketegasan, dan kemandirian hidup membentuk
karakternya hingga kini.
Delapan tahun Habib Alwi menghabiskan
masa kecil dan remajanya di Pesantren Lawang. Selepas itu, ia kembali ke
Jakarta. Ia sempat bekerja di Jakarta dan Semarang untuk memenuhi
kebutuhan hidup serta membantu membiayai adik-adiknya, meringankan beban
ibunya. Tapi ghirahnya pada ilmu tetap membara. Timbul keinginan yang
besar untuk melanjutkan mengaji kepada Habib Zein bin Sumaith di kota
Nabi, Madinah. Namun keinginan itu belum dapat ia wujudkan, terutama
karena kondisi keuangan.
Pada tahun 1999, sembari mengaji kepada
Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan di Al-Fakhriyyah, Ciledug,
Tangerang, Banten, ia mencari informasi dan jalan untuk belajar ke Darul
Musthafa, Hadramaut. Setahun kemudian, berkat bantuan saudara ayahnya
yang dikenal sebagai pengusaha property yang sukses dan dermawan, Habib
Ismeth bin Abdullah Al-Habsyi, ia berangkat menuju Hadramaut, Yaman.
Habib Alwi adalah santri angkatan kedua
asal Indonesia yang mengenyam pendidikan di Pesantren yang diasuh Guru
Mulia Al-Hafizh Al-Musnid Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz.
Mulanya, lamanya waktu belajar di Darul
Musthafa adalah dua tahun, ketika menginjak tahun ketiga, Habib Alwi
menulis surat permohonan kepada Habib Umar agar diberi kesempatan
setahun lagi untuk mengenyam pendidikan dikelas takhashush yang disebut
daurah. Permintaan itu dikabulkan Habib Umar bin Hafidz. Selama tiga
tahun menimba ilmu di Hadramaut, ia juga berkesempatan mengaji kepada
Habib Hasan Asy-Syathiri di Rubath Tarim, yang biasanya diadakan pada
masa-masa liburan. Pada kesempatan di musim haji, ia, bersama beberapa
santri dan Tuan Guru Mulia, berkesempatan mengunjungi kediaman Abuya
Imamul Muhadditsin Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani di
Rushaifah, Makkah. Baginya, kesempatan-kesempatan itu memberi kenangan
yang tiada ternilai dalam
kehidupannya hingga kini.
kehidupannya hingga kini.
Getir Manisnya Berdakwah
Pada tahun 2003, Habib Alwi Al-Habsyi
menginjakkan kaki kembali di tanah air. Walau ia jebolan Darul Musthafa,
bukanlah hal yang mudah untuk mendapatkan akses dalam mengajar dan
berdakwah. Ia hijrah ke Depok, Bogor, Jawa Barat, untuk berdakwah. Tak
jarang ia mengalami pahit getirnya berdakwah.
Pernah ketika ia akan memberikan ta’lim,
masjid yang akan didatanginya dikunci pagarnya. Bahkan ia pernah diusir
saat sedang mengajar. Namun ujian demi ujian yang dihadapinya tidak
membuat goyah dan melunturkan semangat berdakwah. Ia selalu teringat
pesan sang guru, Habib Umar Bin Hafidz, tentang penggemblengan jiwa.
Habib Umar mengajarkan tiga hal yang tidak boleh terlepas dari seorang
alumnus Darul Musthafa; tahqiqul ‘ilm (mewujudkan ilmu dengan
mengamalkannya), suluk (keluhuran pekerti dengan menjalani thariqah
Ba’alawi), dan iblaghul haq (menyampaikan kebenaran kepada siapa saja).
Peran sang pendamping hidup, Syarifah Nur
Fitriyah Al-Habsyi, pun sangat besar. Laksana Syarifah Khadijah binti
Khuwailid, yang selalu menyokong dakwah sang suami, makhluk yang mulia,
Rasulullah SAW, Syarifah Nur pun senantiasa memberikan perhatian pada
tugas mulia yang diemban Habib Alwi. Sejak empat tahun terakhir ini,
Habib Alwi beserta istri dan dua buah hatinya yang masih kecil dan
sedang lucu-lucunya, Habib Muhammad Nuh Al-Habsyi dan Habib Ali
Al-Habsyi, berhijrah kesebuah perkampungan Betawi yang asri, Jalan
Mawar, srengseng Kembangan, Jakarta barat. Di kampung ini, penerimaan
masyarakat terhadap dirinya dan keluarga sungguh luar biasa. Majelis
yang dibinanya kian hari kian banyak dihadiri jama’ah sekitar
kediamannya. Bahkan kini jama’ahnya berdatangan dari berbagai penjuru di
pinggiran Jakarta Barat dan Tangerang. Rumahnya pun tiap hari
disambangi jama’ah, baik yang ingin berkonsultasi, mengaji, maupun
bersilaturahim.
Setiap malam Kamis, majelisnya dihadiri
ratusan kaum muda. Ia mengisi pengajian dengan pembacaan Ratib Al-Haddad
dan kajian kitab Riyadhush Shalihin. Sedangkan pada setiap Ahad pagi
ba’da subuh, ia mengawali ta’lim dengan pembacaan Wirdul Lathif,
dilanjutkan dengan mengajar kitab Risalatul Mu’awanah dan Risalatul
Mudzakarah, yang diikuti lebih dari empat ratus asatidz.
Selama empat tahun Majelis Ta’lim
Raudhatul Habib SAW, yang diasuhnya. Telah dikhatamkan dan diijazahkan
empat buah kitab, diantaranya Kitab Adab suluk al-Murid dan Kitab
Bidayatul Hidayah. Kini majelisnya tengah melebarkan sayap dengan
membangun sebuah bangunan permanen seluas 150 meter persegi di Kedoya,
Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Di lahan yang diwakafkan seorang dermawan
itu, rencanya Majelis Ta’lim Raudhatul Habib SAW akan memusatkan semua
kegiatan dakwahnya, termasuk pembinaan 36 majelis yang diasuh Habib Alwi
di seantero Jabodetabek.
Mudawamah Mengaji
Keluarganya adalah orang-orang yang cukup
disegani di kalangan Alawiyyin. Buyutnya, Habib Abu Bakar bin Muhammad
Al-Habsyi, adalah salah satu tokoh pendiri Jamiat Kheir dan Rabithah
Alawiyah.
Sekalipun ia memiliki datuk-datuk yang
dihormati karena ilmu dan kedermawanan mereka, tidak serta merta itu
membuat Habib Alwi bersikap sombong. Begitu pun dengan dirinya, yang
telah mengajar di banyak majelis dan membina majelis yang cukup
disegani, tidak membuat Habib Alwi besar kepala dengan ilmu dan
ketenaran. Ia sangat memegang erat tuntunan Thariqah Ba’alawi, yang
mengajarkan qana’ah (kesederhanaan) dan khumul (tidak mencari
popularitas).
Hingga kini, bersama lima rekan dekatnya
yang sama-sama dikenal sebagai da’i dan guru, secara mudawamah
(berkesinambungan) mengaji kepada Habib Abdullah al-Kaf Cipulir dan
Habib Umar bin Abdullah Alatas. Dengan Habib Abdullah, ia mempelajari
thariqah Alawiyah; sedangkan dengan Habib Umar, ia mengaji Sembilan
kitab yang berlangsung dari pagi hingga menjelang ashar, sepekan sekali.
Mengaji dan mengajar ibarat air yang
dituang ke dalam gelas. Bilamana gelas penuh dengan air, perlu dituang
ke gelas lainnya. Ilmu pun bukan sesuatu yang diperoleh dengan mudah dan
instan. Ilmu juga harus melalui jalur yang jelas dan tasalsul
(bersambung).
Itulah yang diajarkan agama, “Al-Isnad
minad din laulal isnad laqala ma qala (mata rantai ilmu itu bagian dari
ajaran agama. Jika tanpa mata rantai seseorang semaunya mengatakan apa
yang dapat dikatakannya)”.
Habib Abdullah Al-Kaf-lah yang banyak menyokong secara moril. Majelis Raudhatul Habib SAW dinamai oleh Habib Abdullah Al-Kaf. Dipilihnya rumah yang asri yang kini didiaminya di Srengseng juga atas petunjuk gurunya tersebut.
Habib Abdullah Al-Kaf-lah yang banyak menyokong secara moril. Majelis Raudhatul Habib SAW dinamai oleh Habib Abdullah Al-Kaf. Dipilihnya rumah yang asri yang kini didiaminya di Srengseng juga atas petunjuk gurunya tersebut.
Tentang Habib Umar Alatas, ia menyatakan
kekagumannya atas semangat sang guru yang tak pernah padam sekalipun
telah sangat sepuh. Ia tidak merasa penat, sekalipun dengan telaten
membaca Sembilan kitab dan menjelaskannya kepada murid-muridnya sejak
pukul Sembilan pagi hingga matahari akan tenggelam.
Cinta Ibu dan Kasih Guru
Dalam wawancaranya dengan alKisah di
penghujung Ramadhan 1430 H, ketika mengutarakan kecintaan orang-orang
yang dicintainya, buliran air mata membasahi wajah tampannya. Habib Alwi
teringat akan guru-gurunya, di antaranya Habib Muhammad Ba’bud lawang,
Habib Umar Bin Hafidz, dan Ibu, yang melahirkan dan membesarkannya.
Tentang sang ibu, ia teringat kepada
Habib Abu Bakar Assegaf Gresik shahibul karamah (yang memiliki karamah).
Alkisah, kapanpun ibunya datang, Habib Abu Bakar senantiasa bangun,
berdiri, dan menghampiri sang ibu, lalu ia kecup kedua tangan ibunya,
sekalipun dihadapannya ada ribuan manusia yang tengah menyimak
ta’limnya. Ia baru melanjutkan pengajiannya kembali ketika ibunya telah
selesai dengan keperluannya dengan dirinya. “Itulah sesungguhnya salah
satu ajaran utama di kalangan ahlul bayt dzurriyyah rasulullah SAW,
sikap terhadap guru dan orang tua, yang membesarkan kita”, kata Habib
Alwi.
Habib alwi menyitir ucapan Imam Ja’far
Ash-Shidiq, salah satu dzurriyyah Rasulullah SAW. Ada empat “perintah”
bagi dzurriyyah Nabi SAW yang “tidak boleh ditentang”. Pertama, qiyamuhu
min majlisihi li abihi (bangun dari majelis ketika orang tuanya
datang), sebagaimana yang dilakukan Habib Abu Bakar Gresik tadi. Kedua,
khidmatuhu li dhaifih (melayani tamu yang bertandang ke kediamannya).
Ketiga, qiyamuhu ‘ala dabbatihi (mandiri tidak tergantung kepada orang
lain). Yang keempat, khidmatuhu liman yata’allamu minhu (melayani orang
yang ingin belajar kepadanya).
Usia boleh muda, tetapi ilmu dan
akhlaqlah yang membuat seseorang dituakan di tengah masyarakat dan umat.
Habib Alwi termasuk dalam kriteria tersebut. Ia dituakan dan menjadi
tokoh ulama muda di tengah-tengah lingkungan tempat tinggalnya. Dalam
sebuah syair dikatakan. “Al-‘Alimu kabirun walaw kana shaghiran wal
jahilu shaghirun walaw kana syaikhan (Orang alim itu besar sekalipu ia
masih muda, sebaliknya orang jahil itu kecil sekalipun ia berusia tua)”.
Memungkasi perbincangan dirumahnya yang
teduh dan sederhana, habib yang apa adanya ini mengingatkan betapa
pentingnya perubahan hidup yang lebih baik bagi setiap insan muslim
pasca berlalunya bulan Ramadhan dan Syawal ini. Seseorang, katanya,
hendaknya mengoreksi dirinya, apakah kualitas dirinya kini meningkat
dari tahun-tahun sebelumnya, ataukah tidak.
Hal lain, ditambahkannya, tentang
keberadaan majelis-majelis ta’lim dan dzikir. Majelis-majelis ini sangat
dibutuhkan masyarakat, ketika banyak orang terperosok dalam dunia
materialism, sekularisme, dan isme-isme yang jauh dari ruh Islam, yang
diajarkan Nabi SAW dan para salafush shalih.
Habib Ahmad Bin Ali Bin Abdurrahman Assegaf

Al Habib Ahmad bin Ali bin Sayyidil Walid
Al Faqih Al Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdulkadir bin Ali bin Umar
bin Segaf Assegaf. Habib Ahmad bin Ali Assegaf adalah pribadi yang
hangat, ramah, dan mudah akrab dengan siapapun. Beliau dilahirkan di
jakarta pada tanggal 18 Oktober 1971 dari keturunan tokoh yang
menyandang nama besar sebagai paku bumi, tokoh dakwah yang disegani dan
pecinta ilmu yaitu kakenya, Sayyidil Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf.
Pada saat beliau masih didalam kandungan
ibunda beliau yang bernama Syarifah Tuffahah binti Abdullah Al Haddad
beliau telah diberi nama Husein oleh Al Habib Salim bin Ahmad bin
Jindan. Karena ayahanda beliau Al Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf
sangat mencintai Al Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, dan meminta
keberkahan atas nama yang diberikan Al Habib Salim bin Ahmad bin Jindan
kepada anaknya. Setelah lahir dengan selamat beberapa tahun kemudian
diusia balita beberapa kali beliau mengalami sakit keras yang hampir
merenggut nyawa beliau.
Pada saat Al Habib Sholeh Tanggul datang
ke jakarta, ayah beliau Al Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf menemuinya
dengan memohon do’a dari Al Habib Sholeh agar anak beliau senantiasa
dipanjangkan umurnya dalam sehat wal afiat. Spontan Al Habib Sholeh
Tanggul berkata “ahmad ahmad ahmad” memerintahkan kepada ayahanda beliau
untuk mengganti nama husein menjadi ahmad. Setelah nama beliau diganti
husein menjadi ahmad, beliau masih saja sakit lalu ayahanda beliau Al
Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf bersilatuhrahmi kepada Al Habib Umar
bin Hud AlAttas (condet) untuk meminta do’a dan meminta mengganti nama
yang baik untuk anaknya ” Habib Umar langsung berkata saya tidak berani
untuk mengganti namanya ,karna nama ahmad tersebut diberikan oleh Al
Arifbillah Al Qutub AlHabib Sholeh bin Mukhsin Al Hamid (Tanggul)”
.Begitu pula dengan Al Habib Abdullah bin Husein bin Sya’mi AlAttas
(kalibata) dengan jawaban yang sama. Pada saat Al Habib Sholeh Tanggul
datang ke jakarta lagi, ayah beliau Al Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf
menemuinya dengan meminta air dan memohon do’a dari Al Habib Sholeh
agar anak beliau senantiasa dipanjangkan umurnya dalam sehat wal afiat.
Terbukti karomah yang besar dari Al Arifbillah Al Qutub Al Habib Sholeh
bin Mukhsin Al Hamid tanggul, beliau tumbuh dewasa dalam keadaan sehat
wal afiat.
Pada usia dini Al Habib Ahmad telah
memulai jalannya dalam menuntut ilmu agama. Guru pertama beliau Al Walid
Adda’ilallah Al Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf yang tidak lain
adalah ayahanda beliau sendiri. Dan beliau juga menuntut ilmu kepada
kakek beliau yaitu Assayidil Walid Al Imam Al ArifBillah Al Allamah Al
Faqih Al Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf. Sebagai keluarga yang
berlatar belakang pendidik & pendakwah, Habib Ahmad banyak mendalami
ilmu berdakwah dari orang tua dan kakek beliau. Dalam perjalanan
menuntut ilmu agama dari sejak dini inilah yang telah membentuk karakter
beliau didalam bidang agama.
Setelah menyelesaikan pendidikan formal
dan pesantren di tempat kakenya, Habib Ahmad langsung dikirim walidnya
belajar ke Madinah tahun 1993, berguru kepada Al Faqih Al Habib Zein bin
Smith dan Habib Salim bin Abdullah Asy-Syatiri. Di Madinah beliau
belajar selama empat tahun, banyak sekali ilmu dan wawasan yang
didapatnya selama bergaul dengan pakar fiqih Habib Zein bin Ibrahim bin
Smith. Habib Zein selain menguasai ilmu juga seorang yang luas
wawasannya. Beliau orang yang santun, rendah hati, dan berakhlak mulia.
Waktu luangnya selalu dihabiskan dengan i’tikaf di Masjid Nabawi,” ujar
Habib Ahmad.
Habib Ahmad.

“Alhamdulillah, sejak saya pulang, saya
berdakwah dengan niat ikhlas karena Allah,” ujar Habib Ahmad dengan
penuh rasa syukur . Atas permintaan remaja dan masyarakat di Gang AMD
XX, Condet, Jakarta Timur, Habib Ahmad mendirikan Majelis Ta’lim Annurul
Kassyaf, yang menggelar pengajian setiap malam selasa. Majelis ini
mulai beraktivitas tahun 2003. Pada 8 Agustus 2008 di lapangan Cawang
Kompor diadakan Tabligh Akbar pembukaan Majelis Dzikir dan Sholawat
Majelis Ta’lim Annurul Kassyaaf. Habib Ahmad menggelar sholawat, dzikir
dan ziarah setiap malam sabtu. Annurul Kassyaf berarti “Cahaya Yang
Tembus” nama ini pemberian dari Walidnya Habib Ali bin Abdurrahman
Assegaf diharapkan apa-apa yang disampaikan di majelis ta’lim itu bisa
menembus hati para pendengarnya dan bisa pula menjadi cahaya yang
menyinari hidupnya.
Habib Ahmad menikah dengan salah satu
cucu seorang ulama besar di kramat jati yaitu Syarifah Faizah binti Zein
bin Al Imam Al Qutub Al Habib Mukhsin bin Muhammad Al attas (alhawi,
condet), dari pernikahannya beliau memiliki 3 putera antara lain Wan
Abdul Qadir, Wan Muhammad Bagir, Wan Ubaydillah dan 2 putri antara lain
Syarifah Salma dan Syarifah Zaenab , namun satu anaknya yang bernama Wan
Ubaydillah mengalami kecelakaan dan wafat dilokasi kecelakaan peristiwa
itu terjadi dua hari menjelang lebaran tahun 2005.
Table games – Titanium Bar Games
BalasHapusTable games – Titanium 바카라 Bar head titanium tennis racket Games. Teton Casino - Teton Casino titanium engagement rings Teton Casino has an extensive range of table games, including titanium symbol a variety thinkpad x1 titanium of roulette, blackjack and